*

*

Ads

Minggu, 07 Mei 2017

Pendekar Sadis Jilid 033

"Thian Sin, dimana kakakmu Han Tiong?"

"Dia sedang membantu para paman bekerja di ladang. Apakah perlu saya panggil Tiong-ko kesini, ayah?"

"Tidak usah. Kami memang hendak bicara denganmu. Kau duduklah, Thian Sin."

Mendengar suara yang singkat dan tegas itu Thian Sin merasa kaget juga, akan tetapi sesuai dengan ajaran ayah angkatnya, dia bersikap tenang dan duduk dengan hormat menghadapi suami isteri itu.

"Thian Sin, apakah yang telah terjadi antara engkau dan Cu Ing, puteri petani Bhe di kaki bukit itu?"

Pertanyaan yang tiba-tiba datangnya dan sama sekali tak pernah disangka-sangkanya ini mengejutkan hati Thian Sin. Akan tetapi dia ternyata telah mampu menguasai perasaannya, dan pada wajah yang tampan itu tidak nampak sesuatu, kecuali sepasang mata yang tajam itu terbelalak dan menatap wajah Sin Liong seperti orang terheran.

"Tidak terjadi apa-apa antara dia dan saya, ayah." jawabnya, suaranya tenang dan halus sama sekali tidak membayangkan kegelisahan sehingga diam-diam Sin Liong kagum sekali akan ketenangan putera angkatnya itu.

Bi Cu yang merasa kasihan melihat putera angkat ini karena dia tahu betapa sakitnya hati kalau diputuskan atau dipisahkan dari orang yang dicinta, bertanya dengan suara lembut,

"Thian Sin, apakah antara engkau dan Cu Ing ada hubungan cinta?"

Ketika mendengar ayah angkatnya menyebut nama Cu Ing tadi, Thian Sin sudah menduga bahwa tentu orang tua itu sudah tahu akan hubungannya dengan gadis itu, maka pertanyaan yang lebih langsung dan terbuka dari ibu angkatnya ini tidak mengejutkan hatinya. Akan tetapi ada perasaan malu-malu menyelinap di dalam hati sehingga tanpa disadarinya sendiri, biarpun sikapnya tenang, akan tetapi kedua pipinya yang berkulit halus putih seperti pipi wanita itu menjadi kemerahan! Sejenak dia menatap wajah ibu angkatnya, kemudian dia menunduk dan mengangguk.

"Benar, ibu," jawabnya lirih.

Sin Liong dan Bi Cu saling pandang. Mereka sebetulnya tidak suka mencampuri urusan cinta antara seorang pemuda dan seorang gadis, apalagi kalau pemuda itu anak angkat mereka sendiri. Akan tetapi terdapat ketidak-wajaran dalam hubungan, terpaksa Sin Liong mengeraskan hatinya dan suaranya terdengar tegas ketika dia bicara lagi.

"Thian Sin, tahukah engkau bahwa Bhe Cu Ing sejak kecil sudah dijodohkan dengan orang lain dan menjadi calon isteri pria lain?"

Thian Sin terbelalak, mengerutkan alisnya dan menggeleng kepala.
"Saya... saya tidak tahu sama sekali tentang hal itu, ayah."

"Bagus!" Sin Liong mengangguk-angguk dan memang hatinya terasa lapang.

Orang yang tidak tahu berarti tidak sengaja dan perbuatan yang dilakukan tanpa kesengajaan tak dapat dibilang bersalah atau melanggar.

"Nah, kalau engkau tidak tahu, sekarang ketahuilah bahwa Bhe Cu Ing adalah calon isteri orang lain, sudah ditunangkan sejak kecil dan oleh karena itu, mulai saat ini juga engkau harus memutuskan hubunganmu dengan dia!"






Thian Sin terkejut, memandang pendekar itu.
"Akan tetapi, ayah..."

"Seorang pendekar tidak akan melakukan hal-hal yang melanggar susila!" bentak Sin Liong dan pemuda itu menundukkan mukanya yang berubah agak pucat.

"Thian Sin, engkau tidak ingin menjadi seorang pengacau urusan keluarga lain orang, bukan?" Bi Cu berkata halus. "Cu Ing sudah bertunangan, berarti dia telah mempunyai jodoh yang sah, dia tidak bebas lagi."

"Seorang pendekar harus selalu tertib menjaga perbuatannya sendiri, harus selalu mempunyai garis kebijaksanaan, tidak akan melanggar peraturan dan akan menjaga namanya dengan taruhan nyawa. Kalau engkau mendekati wanita yang sudah mempunyai calon suami, berarti engkau telah melakukan suatu hal yang busuk dan namamu akan terseret ke dalam lumpur kehinaan. Mengertikah engkau, Thian Sin?"

Thian Sin tidak mampu bicara lagi, hanya mengangguk-angguk dan dia merasa betapa hatinya perih dan nyeri. Setelah menerima peringatan dan nasihat-nasihat, dia lalu meninggalkan suami isteri itu dengan tubuh terasa lemah lunglai, diikuti pandang mata suami isteri itu yang merasa kasihan kepadanya.

Thian Sin menjadi sedih dan bingung. Apalagi ketika pada keesokan harinya dia mendengar dari para muda di dusun tempat tinggal Cu Ing bahwa gadis itu telah diajak pergi meninggalkan dusun oleh keluarganya, dan kabarnya akan melangsungkan pernikahan dengan tunangannya di dusun sebelah selatan. Thian Sin merasa hatinya hancur. Patah hati!

Peristiwa ini merupakan pukulan batin kedua bagi pemuda ini. Pertama, ketika dia melihat ayah bundanya terbunuh, dan ketika dia menangis di depan peti-peti mati dan kuburan ayah bundanya. Rasa duka yang mengandung dendam ini menggores kalbunya, akan tetapi setelah dia mempelajari ilmu kepada Hong San Hwesio, perasaan duka dan dendam itu dapat ditekannya dengan pelajaran-pelajaran kebatinan yang diterimanya dari hwesio itu sehingga hampir tak pernah terasa lagi.

Akan tetapi, sekarang, setelah dia menerima pukulan batin untuk ke dua kalinya yang cukup mendatangkan rasa nyeri dan memperbesar perasaan iba diri, maka luka lama itupun berdarah kembali! Dan diapun tak dapat menahan guncangan batin ini dan jatuh sakit!

Sin Liong dan Bi Cu mengerti akan keadaan anak angkat ini, akan tetapi merekapun tahu bahwa membiarkan anak itu beristirahat dengan tenang akan menyembuhkannya, karena sesungguhnya jasmaninya tidak menderita sakit sesuatu, hanya terpengaruh oleh tekanan batin dan kekecewaan belaka.

Akan tetapi, Han Tiong merasa khawatir sekali dan pemuda ini boleh dibilang siang malam menjaga adik angkatnya, merawatnya dengan penuh perhatian dan sikap kakak angkat ini, sikap yang tidak dibuat-buat melainkan yang keluar dari kasih sayang murni, merupakan obat dan penghibur yang manjur bagi Thian Sin karena pemuda ini dapat melihat bahwa ada orang lain yang masih benar-benar amat menyayangnya, yaitu Han Tiong!

Betapa menyedihkan melihat bahwa yang kita sebut-sebut cinta itu hampir selalu, atau sebagian besar, berakhir dengan kedukaan! Kalau ada seorang muda dan seorang mudi saling jatuh cinta, terdapat suatu daya tarik yang amat kuat di antara mereka. Daya tarik ini antara lain diciptakan oleh kecocokan selera, akan kecantikan atau ketampanan wajah, kecocokan watak masing-masing, lalu dipupuk dan diperkuat oleh pergaulan yang semakin akrab.

Semua ini menciptakan daya tarik yang mendorong mereka untuk selalu saling berdekatan karena kehadiran masing-masing merupakan hal yang menyenangkan. Tentu saja semua itu didasari lebih dulu oleh daya tarik antar kelamin yang sudah terbawa semenjak lahir. Kemudian, mereka merasa saling jatuh cinta!

Sayangnya, rasa cinta ini selalu ditunggangi oleh nafsu ingin menyenangkan diri belaka sehingga timbullah nafsu ingin menguasai, ingin memiliki, dan yang paling kuat adalah nafsu sex. Setelah demikian, mulailah bermunculan perangkap-perangkap yang akan menjebak kita ke dalam kedukaan, melalui hubungan cinta kasih yang sebenarnya amat suci itu.

Dua orang muda-mudi saling mencinta dan penunggangan nafsu ingin menguasai, itulah yang menimbulkan duka kalau mereka berdua berhalangan menjadi suami isteri, atau kalau yang disebut "cinta" mereka itu "gagal" di tengah jalan. Cinta gagal ini, atau lebih jelas hubungan yang terputus ini mendatangkan patah hati yang berarti kedukaan dan kesengsaraan. Apakah kalau mereka sampai dapat menjadi suami isteri lalu cinta mereka itu menjadi kekal dan apakah hal itu dapat mendatangkan kebahagiaan?

Dapat kita lihat kepahitan yang nyata di sekeliling kita! Betapa banyaknya terjadi perceraian antara suami isteri yang katanya dulu sangat saling mencinta, bahkan yang sudah mempunyai anak-anak! Perceraian yang timbul karena cemburu, karena penyelewengan, karena percekcokan, pendeknya karena KEKECEWAAN masing-masing dalam hubungan antara mereka itu.

Lalu kemanakah larinya "cinta" yang mereka ikrarkan bersama dahulu? Lalu ke mana lenyapnya sumpah diantara mereka ketika mereka masih saling "mencinta"? Seolah-olah cinta hanyalah sesuatu yang bersifat sementara saja! Yang bersifat sementara ini sesungguhnya hanyalah KESENANGAN. Hanya mereka yang menikah atas dasar "mengejar kesenangan" sajalah yang akan gagal dalam pernikahan mereka, karena kesenangan yang dikejar itu selalu akan jalan bersama dengan kesusahan, kepuasan dengan kekecewaan.

Mengejar kesenangan berarti ingin selalu memperoleh kesenangan, sehingga kalau dalam pernikahan itu muncul hal yang tidak menyenangkan, maka pernikahan itupun gagal. Dan itu masih kita beri kedok yang kita namakam "cinta"! Betapa menyedihkan dan betapa pahit kenyataan hidup ini.

Han Tiong bukanlah seorang pemuda yang bodoh. Sungguhpun dia pendiam dan tidak ingin mencampuri urusan pribadi adik angkatnya yang disayangnya, namun diapun dapat melihat kenyataan dan tahulah dia bahwa adiknya ini sakit karena duka dan kecewa mendengar Cu Ing dibawa pergi dari dusunnya untuk dikawinkan dengan orang lain, yaitu dengan tunangannya semenjak kecil. Ketika melihat keadaan adiknya sudah mendingan, pada suatu malam dia menemani adiknya itu dan dengan halus dia bertanya sambil lalu.

"Sin-te, kuharap engkau sekarang sudah kuat dan dapat mengatasi perasaan kecewamu karena urusan itu."

Thian Sin tidak mengira bahwa Han Tiong tahu urusan hatinya, maka dia memandang kakak angkatnya itu dan bertanya.

"Urusan apa yang kau maksudkan Tiong-ko?"

"Urusan apalagi kalau bukan yang membuatmu jatuh sakit ini?"

"Ahhh...!" Thian Sin diam saja dan menunduk, termenung.

"Sin-te, aku percaya bahwa engkau sungguh-sungguh mencinta gadis itu, bukan?"

Thian Sin memandang kepada wajah kakak angkatnya, penuh pertanyaan, kemudian dia menjawab,

"Tentu saja, Tiong-ko. Aku sangat... cinta padanya."

"Sin-te, aku sendiri pun tidak mengerti tentang cinta, akan tetapi kalau engkau mencinta orang, bukankah engkau ingin melihat dia itu berbahagia?"

"Tentu saja."

"Dan menurut wejangan paman Hong San Hwesio, kebahagiaan itu hanya dapat diperoleh melalui kebenaran."

"Betul."

"Nah, gadis kekasihmu itu telah bertunangan dengan orang lain sejak kecil, maka kalau dia meninggalkan calon suaminya, berarti dia melakukan hal yang tidak benar. Kalau dia sekarang pergi menikah dengan tunangannya, berarti dia benar dan tentu akan berbahagia. Dan kalau engkau memang cinta kepadanya, Sin-te, bukankah engkaupun akan ikut merasa senang melihat atau mendengar dia hidup berbahagia?"

Thian Sin sendiri adalah seorang pemuda yang masih hijau dalam urusan cinta, maka mendengar pendapat ini diapun termenung dan bingung. Akhirnya dia hanya menarik napas panjang dan menjawab,

"Aku sendiri tidak mengerti, Tiong-ko. Hanya saja, perpisahan dengannya mendatangkan duka dan aku merasa kehilangan, merasa sunyi dan sedih sekali."

Akan tetapi, duka seperti juga suka, hanyalah merupakan permainan pikiran belaka dan sifatnya hanya sementara. Suka maupun duka yang timbul dari kepuasan maupun kekecewaan sebagai akibat tercapainya atau tidak tercapainya hal yang diingin-inginkan, akan lenyap ditelan waktu.

Demikian pula dengan kedukaan yang menyerang hati Thian Sin. Beberapa bulan lamanya dia nampak murung dan pendiam, akan tetapi lambat laun rasa duka itu pun makin menipis dan akhirnya seperti lenyap tak berbekas dan dia menjadi seorang pemuda yang riang kembali, selalu berpakaian bersih dan cermat, rapi dan agak pesolek, selalu bersikap ramah dan periang terhadap siapapun juga.

Melihat hal ini, hal yang sudah diduganya, diam-diam Sin Liong dan isterinya menjadi gembira kembali. Juga Han Tiong merasa lega melihat adiknya sudah sembuh kembali lahir batin. Akan tetapi, segala sesuatu yang menggores batin akan bertumpuk di bawah sadar, dan biarpun nampaknya dua peristiwa hebat itu, kematian orang tuanya dan kehilangan gadis pertama yang dicintanya, sudah lewat dan tidak berbekas, namun sakit hati dan dendam itu mengeram dan menyelinap di dalam tumpukan bawah sadar.

**** 033 ****
Pendekar Sadis







Tidak ada komentar: