*

*

Ads

Minggu, 07 Mei 2017

Pendekar Sadis Jilid 032

Thian Sin sendiri merasakan jantungnya berdebar-debar dan kedua tangannya gemetar ketika dia memegang kedua tangan dara itu. Mereka berdiri berhadapan, saling berpegang tangan dan saling pandang, tidak tahu apa yang harus dilakukan atau dikatakan. Hanya dua pasang mata mereka saja yang saling bicara dengan getaran-getaran sinar yang mesra. Bahkan bicara tanpa kata melalui pandang mata ini saja membuat Cu Ing tidak dapat bertahan terlalu lama karena dia sudah merasa malu sekali. Maka diapun lalu menundukkan mukanya, suaranya gemetar ketika dia bicara.

"Kongcu... aku... aku mau pulang... teman-teman sudah pulang, nanti ayah marah kepadaku."

"Mari, kuantar kau pulang, Cu Ing..." kata pula Thian Sin dengan suara yang sama pula gemetarnya.

Mereka lalu berjalan sambil bergandeng tangan dan merasa betapa indahnya pagi hari itu. Cahaya matahari pagi seperti menembus dada menyinari seluruh ruang hati mereka yang gembira. Kaki terasa ringan melangkah, tapi hati terasa berat berpisah. Setelah tiba di luar dusun tempat tinggal Cu Ing, Thian Sin menarik kedua tangan gadis itu dalam genggamannya, didekatkan sampai menyentuh dadanya. Karena gerakan ini Cu Ing juga tertarik mendekat dan kembali dua pasang mata saling pandang, agak berdekatan.

"Cu Ing, aku cinta padamu... katakanlah, apakah engkau juga cinta padaku?"

Cu Ing tidak kuasa mengeluarkan suara, maka sebagai jawabannya dia hanya mengangguk lemah, kemudian menarik kedua tangannya dari genggaman pemuda itu dan lari memasuki dusun. Agaknya setelah dia terlepas dari pegangan pemuda itu, timbul keberaniannya dan dia menoleh sambil tersenyum.

"Kongcu... besok... pagi-pagi aku ke danau...!" Lalu berlarilah dia dengan senyum masih menghias bibirnya yang merah.

Thian Sin juga tersenyum, mengikuti dara itu dengan pandang matanya, melihat betapa manisnya gadis itu kelihatan dari belakang ketika berlari kecil dengan sikap malu-malu.

Mulai hari itu, resmilah di antara muda-mudi pedusunan di sekitar Lembah Naga bahwa Cu Ing adalah pacar Thian Sin! Dan semenjak hari itu, sering Thian Sin mengadakan pertemuan berdua saja dengan Cu Ing, yaitu kalau Cu Ing memperoleh kesempatan pergi ke danau untuk mencuci pakaian atau mandi.

Akan tetapi karena Thian Sin sendiri adalah seorang pemuda berusia tujuh belas tahun yang masih hijau, maka di dalam pertemuan itu mereka berdua hanya bercakap-cakap dengan lirih dan mesra, dan kemesraan yang terjadi di antara mereka hanya terbatas kepada saling sentuh dan saling genggam tangan saja!

Akan tetapi, berahi merupakan pendorong yang kuat dan juga merupakan guru alamiah yang amat pandai. Apalagi Thian Sin juga kadang-kadang mendengar percakapan dari teman-temannya apabila mereka bercanda dan mendengar tentang kemesraan antara suami isteri. Oleh karena itu, sentuhan-sentuhan dan saling genggam tangan itu semakin lama dilanjutkan dengan pencurahan kemesraan yang semakin berani dan akhirnya, pada suatu pagi ketika mereka mengadakan pertemuan berdua saja di dalam hutan, Thian Sin merangkul leher Cu Ing dan mencium pipinya.

Mula-mula Cu Ing terkejut, akan tetapi darah remajanya bergolak dan beberapa kali pertemuan berikutnya, mereka sudah berani saling peluk dan saling berciuman dengan mesra dan dengan sepenuh kasih sayang.

Mereka tidak tahu betapa ada sepasang mata yang mengintai mereka dari jauh, dengan sinar mata penuh iri hati! Itulah sinar mata dari seorang gadis lain, seorang teman baik Cu Ing, yang diam-diam jatuh cinta pula kepada Thian Sin, hal yang sama sekali tidak mengherankan karena hampir semua gadis di pedusunan itu tergila-gila belaka kepada pemuda yang tampan, gagah dan ramah serta manis budi ini.






Thian Sin dan Cu Ing tidak tahu betapa gadis itu diam-diam pergi melapor kepada Paman Bhe, yaitu ayah kandung Cu Ing. Keluarga ini memang sudah mendengar kabar angin tentang hubungan puteri mereka dengan Ceng-kongcu, akan tetapi karena mereka itu merasa hormat dan segan kepada keluarga penghuni Istana Lembah Naga, mereka pura-pura tidak mendengar berita itu dan mereka percaya bahwa hubungan itu hanyalah hubungan persahabatan belaka, mengingat bahwa Ceng Thian Sin adalah seorang pemuda yang sopan dan terhormat.

Akan tetapi, ketika mendengar laporan gadis itu betapa puteri mereka mengadakan pertemuan berdua saja dengan Thian Sin, bahkan gadis itu melihat betapa mereka saling berpelukan dan berciuman, keluarga Bhe menjadi terkejut dan marah sekali. Tak mereka sangka akan terjadi hal seperti itu, karena biasanya, setiap kali pergi dari rumah untuk mencuci ke danau, Cu Ing selalu tentu disertai oleh beberapa orang teman, bahkan gadis yang melapor itu sendiripun menemaninya.

Paman Bhe itu bergegas pergi mengunjungi Istana Lembah Naga setelah berganti pakaian yang pantas. Dengan wajah mengandung kecemasan, namun sinar mata penuh penasaran dia lalu mohon bertemu dengan Cia-taihiap, demikian sebutan Cia Sin Liong yang menjadi majikan istana itu.

Tidak aneh bagi keluarga Cia untuk menerima kunjungan seorang petani, karena memang dia selalu membuka hati dan tangan untuk menerima mereka dan membantu semua kesulitan para petani itu. Akan tetapi ketika melihat wajah yang serius dari tamunya itu, dia merasa heran dan juga tertarik.

"Bhe-twako, ada keperluan apakah engkau pagi-pagi datang berkunjung?" tanyanya dengan suara ramah.

Petani itu membungkuk dan memberi hormat dengan sikap sungkan, dibalas dengan penuh keheranan oleh tuan rumah. Pada saat itu, Bi Cu keluar dari dalam dan melihat bahwa suaminya menerima seorang tamu yang dikenalnya sebagai seorang petani dari sebuah dusun tak jauh dari Lembah Naga, nyonya muda inipun ikut pula menyambut. Dia tidak tahu betapa kehadiran nyonya ini membuat petani Bhe merasa semakin sungkan dan takut-takut untuk mengeluarkan isi hatinya.

"Bhe-twako, agaknya ada sesuatu yang amat penting yang ingin kau sampaikan kepadaku. Hayo, katakanlah, kami siap mendengarkan."

Suara pendekar itu terdengar lembut dan ramah sekali sehingga berhasil mengusir rasa sungkan dan takut di hati tamunya.

Petani Bhe menelan ludah beberapa kali, kemudian dia berkata.
"Maafkan saya, Cia-taihiap, saya... saya datang untuk bicara tentang... tentang... Ceng-kongcu..." Sin Liong dan isterinya saling lirik, hati mereka merasa heran akan tetapi juga khawatir.

"Tentang Thian Sin? Apakah yang terjadi?" tanya Sin Liong.

Melihat sikap tamunya yang takut-takut, Bi Cu ikut bicara,
"Ceritakanlah dengan tenang dan jangan takut." Suaranya manis dan lembut sehingga kini petani itu merasa hilang takutnya.

"Harap taihiap berdua maafkan. Saya terpaksa melaporkan hal ini demi kebaikan kedua fihak. Begini, taihiap. Seperti taihiap mungkin sudah mengetahui, saya mempunyai seorang anak perempuan bernama Cu Ing, yang sudah menjelang dewasa. Semenjak kecil, anak saya itu telah kami tunangkan dengan putera keluarga Sung di dusun selatan. Dengan demikian berarti bahwa anak perempuan kami ini telah menjadi calon isteri orang secara sah."

Sampai disini, petani itu berhenti bicara, seolah-olah dia masih merasa berat untuk melanjutkannya.

"Bhe-twako, apa hubungannya penjelasanmu itu dengan Thian Sin?" Sin Liong mendesak dan ingin tahu sekali.

"Taihiap, sudah beberapa hari lamanya ini... terjalin hubungan yang akrab antara Cu Ing dan Ceng-kongcu..." Kembali dia berhenti.

Sin Liong tersenyum, senyum untuk menutupi hatinya yang mulai merasa tidak enak, lalu katanya ramah,

"Aih, Bhe-twako, apa salahnya dengan itu? Antara kami dan twako pun terjalin hubungan akrab, bukan? Maka apa salahnya kalau anak-anak kita juga menjadi sahabat yang baik?"

"Tentu saja, taihiap, kalau hanya hubungan akrab, tentu keluarga kami merasa amat terhormat dan berterima kasih, akan tetapi..."

"Akan tetapi bagaimana?" Bi Cu mendesak.

"Mereka itu bukan hanya berhubungan seperti sahabat biasa, melainkan... menurut keterangan beberapa orang saksi, mereka saling mengadakan pertemuan berdua, dan mereka itu bermesraan, berpacaran..."

"Berpacaran? Apa maksudmu?" Sin Liong bertanya kaget dan heran.

"Menurut keterangan mereka yang pernah memergoki dan melihatnya, mereka itu saling peluk, berciuman... saya khawatir sekali, taihiap..."

"Huhhh!" Bi Cu mendengus.

"Hemmm...!" Sin Liong menggeram.

Suasana menjadi sunyi sekali. Petani Bhe itu menunduk, alisnya berkerut, hatinya gelisah. Sin Liong dan Bi Cu juga menunduk, wajah mereka muram. Sampai lama keadaan menjadi sunyi, sunyi yang amat tidak menyenangkan hati mereka. Kemudian Sin Liong menarik napas panjang.

"Lalu sekarang, apa yang hendak kau lakukan Bhe-twako?" tanya Sin Liong, suaranya tetap ramah dan halus, sungguhpun kini bercampur nada prihatin.

"Kami merasa khawatir sekali, taihiap. Kalau saja anak kami belum mempunyai calon jodoh yang sah! Tentu seandainya dia dapat berjodoh dengan Ceng-kongcu, kami sekeluarga akan merasa terhormat sekali, girang dan bangga sekali. Akan tetapi anak kami telah bertunangan, maka tentu saja kalau hubungan itu dilanjutkan, selain nama keluarga kami akan rusak, juga nama keluarga taihiap akan terbawa-bawa..."

"Kami dapat mengerti akan kekhawatiranmu itu, twako. Lalu apa yang hendak kau lakukan sekarang?"

"Satu-satunya jalan yang dapat kami lakukan adalah mengungsikan Cu Ing ke dusun selatan, ke rumah calon mertuanya dan mendesak calon besan kami untuk segera melangsungkan pernikahan."

Sin Liong mengangguk-angguk tanda setuju.
"Baik sekali, lakukanlah itu, Bhe-twako, dan tentang Thian Sin, kami yang akan menasihatinya."

Wajah yang muram dari petani itu kini berseri dan dia bangkit sambil menjura berkali-kali kepada suami isteri itu.

"Terima kasih, terima kasih... dan maafkanlah keluarga kami taihiap..."

"Ah, sebaliknya engkaulah yang harus memaafkan kami, Bhe-twako," jawab Sin Liong.

Setelah petani itu pergi, Sin Liong duduk kembali dan termenung. Juga Bi Cu duduk termenung. Sampai lama keduanya tenggelam ke dalam lamunan masing-masing, kemudian nyonya menoleh, memandang suaminya dan melihat suaminya duduk dengan wajah muram itu dia kemudian berkata lirih,

"Salahkah dia...?"

Sin Liong sadar dari lamunannya dan diam-diam dia terkejut karena ternyata bahwa isterinya itupun agaknya sama dengan dia, melamun dan mengenang masa lalu, bukan hanya mengenai hubungan antara mereka sendiri, di waktu masih muda remaja dahulu, akan tetapi juga hubungan-hubungan cinta antara tokoh-tokoh dalam keluarga Cin-ling-pai yang banyak menimbulkan pertentangan.

"Siapa dapat menyalahkan orang jatuh cinta? Akan tetapi dia masih terlalu muda untuk itu dan dia harus tahu bahwa gadis itu telah menjadi calon isteri orang lain."

Thian Sin lalu dipanggil. Pemuda ini belum tahu bahwa ayah Cu Ing telah datang mengadu kepada suami isteri pendekar itu, maka dia datang menghadap paman atau ayah angkat itu dengan wajah berseri. Hubungannya dengan Cu Ing mendatangkan cahaya baru pada wajahnya. Melihat pemuda itu berjalan datang dengan wajah tampan berseri, diam-diam Sin Liong merasa sangat kagum dan juga dia harus mengakui bahwa keponakannya ini amat tampan, tiada bedanya dengan mendiang Ceng Han Houw.

Teringatlah dia dahulu betapa hampir setiap orang wanita jatuh hati kepada pangeran itu, dan melihat ketampanan Thian Sin, diapun tidak merasa heran kalau pemuda ini menjadi idaman para gadis di dusun sekitar tempat itu. Dengan wajah berseri Thian Sin memberi hormat kepada suami isteri itu dan berkata dengan suara halus dan sikap menarik,

"Selamat pagi, ayah dan ibu! Ayah memanggil saya, hendak mengutus apakah?"

Memang semenjak dia mengangkat persaudaraan dengan Han Tiong, pemuda ini menyebut paman dan bibinya itu ayah dan ibu, karena setelah dia menjadi adik angkat Han Tiong, berarti dia telah merjadi anak angkat mereka pula. Sebutan ayah dan ibu yang dilakukan oleh Thian Sin tanpa mereka meminta itu diterima oleh suami isteri ini yang memang menaruh rasa kasihan dan sayang kepada pemuda itu.

Pendekar Sadis







Tidak ada komentar: