*

*

Ads

Minggu, 07 Mei 2017

Pendekar Sadis Jilid 031

Karena merasa kurang leluasa mengikuti gerakan-gerakan mereka, Thian Sin kini mendoyongkan tubuhnya dan menguak semak-semak agar dapat melihat lebih jelas lagi. Akan tetapi tiba-tiba seorang di antara empat gadis itu melihat gerakan ini. Mata dara itu terbelalak dan dia berseru.

"Ada orang mengintai kita!"

Tiga orang kawannya cepat menengok ke arah tempat yang ditunjuk dara itu, dan mereka semua melihat Thian Sin!

Seperti empat ekor kijang melihat harimau, empat orang dara itu cepat-cepat menyambar pakaian dan cucian mereka, lalu melarikan diri pontang-panting dari tempat itu, akan tetapi karena mereka sudah mengenal siapa pria yang tadi mengintai, sambil berlari mereka kadang-kadang menengok dan mereka tertawa-tawa dan menjerit-jerit penuh rasa geli, ngeri dan juga senang!

Jeritan-jeritan ini menggugah Han Tiong dari samadhinya. Dia membuka mata dan melihat betapa adik angkatnya masih bersila dengan anteng, akan tetapi dari gerakan bola mata adiknya dia dapat menduga bahwa tentu adiknya itu terganggu pula oleh suara jeritan-jeritan tadi.

"Sin-te, suara apakah yang menjerit tadi?" Dan Han Tiong memandang ke arah suara yang masih terdengar lapa-lapat.

"He? Suara apa? Aku tidak tahu... ah, benar, itu masih terdengar suaranya, seperti suara wanita tertawa..." kata Thian Sin, pandai sekali dia bergaya seperti orang yang tidak tahu apa-apa.

"Ah, senja telah mulai tiba. Tak terasa kita sudah lama juga beristirahat. Mari kita pulang!" kata Han Tiong, tidak mempedulikan lagi suara ketawa itu.

Adik angkatnya mengangguk sunyi, mengambil bangkai kijang dan pulanglah dua orang muda itu. Akan tetapi di luar tahu Han Tiong, adik angkatnya berjalan memanggul bangkai kijang sambil melamun, mengenangkan kembali penglihatan yang membuat jantungnya masih tetap berdebar dan tiap kali dia membayangkan Cu Ing, dia tersenyum sendiri.

Semenjak terjadinya peristiwa itu, mulailah Thian Sin mendekati Cu Ing yang semakin menarik hatinya itu. Dara dusun itu kelihatan manja dan kelihatan seperti jinak-jinak merpati, kalau didekati menjauh malu-malu dan kalau dari jauh mengerling dan senyum-senyum memikat.

Melihat keadaan dua orang muda remaja ini, teman-teman mereka, yaitu para pemuda dan gadis dusun sering kali menggoda mereka. Cu Ing digoda teman-temannya dan hal ini semakin menambah rasa cinta yang tumbuh di hatinya terhadap pemuda yang menjadi idaman semua gadis di sekitar Lembah Naga itu. Di dalam hatinya timbul semacam kebanggaan besar karena bukankah Thian Sin terkenal sebagai pemuda perkasa, murid majikan Istana Lembah Naga, bahkan masih keponakan pula, dan juga putera angkat, dan bukankah pemuda ini terkenal amat tampan, gagah dan memikat hati setiap orang wanita?

Sebaliknya, dara yang malu-malu dan manja seperti merpati ini, makin lama makin mempesona hati Thian Sin sehingga timbullah rasa cinta asmara dalam hatinya. Cinta pertama seorang pemuda yang pada waktu itu baru berusia enam belas tahun!

Bhe Cu Ing adalah seorang gadis yang manis, kembang dusunnya dan keadaannya lebih mampu dibandingkan dengan keluarga gadis-gadis lain karena dia adalah anak tunggal dari Bhe Soan yang dianggap sebagai pemuka atau kepala dari dusun kecil itu. Bhe Soan ini lebih berpengalaman daripada para penghuni dusun, selain mengenal huruf juga sudah banyak merantau ke luar daerah, pandai bertani dan pandai pula mengatur kerukunan dusun kecil itu.

Keadaannya pun lebih mampu daripada para petani lain. Dara ini sendiri maklum bahwa dirinya sudah tidak bebas, sejak kecil telah ditunangkan oleh ayahnya dengan pria lain. Akan tetapi karena dia belum pernah melihat tunangannya itu, maka hal itu seolah-olah sudah dilupakannya, apalagi ketika dia bertemu dengan Thian Sin dan melihat mata pemuda itu yang penuh kagum dan kemesraan jika ditujukan kepadanya!






Dara berusia enam belas tahun ini dengan sepenuhnya jatuh hati kepada Thian Sin, akan tetapi sebagai seorang gadis dusun, dia malu-malu dan setiap kali bertemu dengan Thian Sin, dia tak berani langsung memandang. Hal ini terasa lebih lagi setelah semua teman menggodanya sebagai kekasih Thian Sin! Ada rasa malu, rasa bangga, rasa girang yang dicobanya untuk ditutupi dengan muka cemberut marah tapi bibir tersungging senyuman apabila teman-temannya menggodanya. Karena rasa malu pulalah maka kedua fihak hampir tidak berani saling pandang, apalagi saling bertanya kalau ada orang-orang lain.

Thian Sin sendiri karena masih "hijau" maka rasa malu membuat dia yang biasanya pandai bicara itu menjadi pendiam apabila bertemu gadis itu di depan banyak orang.
Sudah beberapa kali Thian Sin berusaha untuk dapat bicara berdua saja dengan Cu Ing akan tetapi gadis itu tidak pernah bersendirian, selalu ada temannya sehingga sukarlah baginya untuk dapat bicara berdua.

Karena sudah tidak dapat menahan dorongan hatinya, maka Thian Sin menjadi nekat dan pada suatu hari, ketika Cu Ing dan beberapa orang temannya pagi-pagi pergi ke danau kecil untuk mencuci pakaian, diam-diam Thian Sin membayangi mereka. Dari tempat sembunyinya dia mengintai ketika mereka mencuci pakaian dan mandi, dengan hati-hati sekali sehingga sekali ini tidak ada seorangpun diantara mereka yang dapat melihatnya.

"Hi-hi-hik, jangan-jangan ada orang laki-laki yang mengintai kita lagi!" terdengar seorang diantara gadis-gadis itu berkata sambil terkekeh genit.

Mendengar ini, semua gadis cepat-cepat menutupi tubuh sedapatnya dengan kedua tangan dan mata mereka yang bening itu terbelalak memandang ke kanan kiri. Mereka tersenyum geli ketika melihat bahwa tempat itu sunyi saja.

"He-he, Cu Ing sih lebih senang dilihat kalau yang melihat itu si dia!"

"Ih, jorok kau! Bukan aku saja yang terlihat, akan tetapi kalian bertiga juga!" bantah Cu Ing dan wajahnya berubah merah sekali.

"Mana bisa? Aku berani bertaruh pandang matanya hanya ditujukan kepada Cu Ing seorang! Mana yang lain-lain kelihatan?" goda seorang dara yang mempunyai sebuah tahi lalat besar di punggungnya."

“Cu Ing, kapan sih engkau menikah dengan Ceng-kongcu?" goda pula seorang lain.

Mendengar pertanyaan yang sifatnya kelakar akan tetapi setengah serius itu, alis yang kecil hitam melengkung itu berkerut.

"Aiihh, pertanyaan macam apa yang kau katakan ini? Mana dia mau dengan gadis dusun macam aku? Pula, mana ada fihak perempuan bicara tentang perjodohan?"

"Hi-hik, siapa tidak tahu bahwa dia sudah tergila-gila kepadamu?"

"Dan engkau tergila-gila kepadanya?"

"Siapa sih yang tidak tergila-gila kepada Kongcu itu?"

Mendengar kelakar teman-temannya, Cu Ing berkata,
"Sudahlah, mari kita naik, aku kan pulang."

Gadis-gadis itu sambil tertawa-tawa lalu mengenakan pakaian bersih. Wajah mereka nampak segar kemerahan setelah mandi air yang dingin itu, terutama sekali, dalam pandangan Thian Sin, wajah Cu Ing nampak seperti sekuntum bunga mawar hutan yang amat indah permai.

Ketika empat orang gadis itu sedang berjalan sambil bercakap-cakap dan tertawa-tawa di dalam hutan menuju ke dusun mereka, tiba-tiba Thian Sin muncul dari balik sebatang pohon besar dan dengan suara gemetar karena tegang dia memandang kepada empat orang itu dan berkata,

"Nona Cu Ing, aku ingin bicara denganmu..."

Empat orang gadis itu tadi terbelalak dan tercengang, kaget melihat munculnya pemuda yang tadi menjadi bahan percakapan mereka itu secara tiba-tiba muncul dari belakang pohon. Kini mendengar ucapannya, Cu Ing menundukkan mukanya yang berubah merah sekali, sedangkan tiga orang temannya tersenyum-senyum. Seorang di antara mereka lalu mengambil keranjang pakaian dari tangan Cu Ing sambil berkata,

"Aku pergi dulu, hi-hik..."

"Hi-hi-hik..."

"Hi-hik..."

Tiga orang gadis itu terkekeh-kekeh dan berlari-lari kecil meninggalkan Cu Ing sambil membawakan cuciannya. Cu Ing tadinya menunduk malu, akan tetapi melihat teman-temannya lari, diapun lalu melarikan diri.

"Nona Cu Ing..."

Akan tetapi panggilan itu agaknya membuat Cu Ing merasa semakin malu dan dia mempercepat larinya. Akan tetapi, saking gugupnya, kakinya tersandung dan dia tentu sudah jatuh tertelungkup kalau saja Thian Sin tidak cepat-cepat menyambar pergelangan tangan kirinya dengan tangan kanan.

"Cu Ing, tunggulah sebentar, aku mau bicara denganmu..." kata Thian Sin dan agaknya kelembutan lengan dalam pegangan tangan kanannya itu membuat dia lupa untuk melepaskannya!

Cu Ing melihat dengan mata terbelalak kepada tiga orang temannya yang sudah lari jauh dan suara mereka terkekeh genit masih terdengar sayup-sayup. Kemudian, merasa betapa tangan kirinya digenggam orang, dia mencoba untuk menariknya. akan tetapi tidak terlepas. Dia mengangkat muka memandang. Dua pasang mata bertemu agak lama, kemudian Cu Ing cepat-cepat membuang muka ke samping sambil menunduk, mukanya merah sekali dan tubuhnya menggigil, mulutnya menahan senyum dan dia merasa malu sekali!

"Cu Ing... mengapa kau lari dariku? Aku... aku ingin bicara denganmu, aku... aku ingin mengatakan bahwa aku cinta padamu..." kata Thian Sin sambil masih memegangi pergelangan tangan kiri dara itu.

Sukar bagi Thian Sin untuk bicara, akan tetapi lebih sukar lagi bagi Cu Ing yang merasa betapa jantungnya berdegup keras sekali, membuat seluruh tubuhnya gemetar dan kedua kakinya menggigil. Akan tetapi dia memaksa diri.

"Aihhh... kongcu... mana mungkin itu...?"

"Cu Ing, aku bersumpah... aku cinta padamu. Kau raba jantungku ini..."

Dia membawa tangan itu menempel dadanya, akan tetapi karena malu Cu Ing menggenggam tangannya.

"Kongcu... lepaskan aku... ah, aku malu... aku takut..." bisiknya.

"Cu Ing, mengapa mesti malu-malu kalau memang kita saling mencinta? Aku cinta padamu dan aku tahu babwa engkaupun cinta padaku..."

"Bagaimana kongcu tahu...?"

Dara itu mendesah lirih, sambil menundukkan mukanya yang sebentar pucat sebentar merah itu, dan kini, tanpa disadarinya sendiri, jari-jari tangannya membalas genggaman tangan Thian Sin.

"Tentu saja aku tahu... dari pandang matamu, dari senyummu..."

"Aku... aku takut, kongcu..."

"Takut apa? Takut kepada siapa? Ada aku di sini, siapa akan berani mengganggumu, Cu Ing? Aku bersumpah, kalau ada yang berani mengganggu ujung rambutmu saja, aku akan mematahkan tangan orang yang mengganggumu itu!"

"Aihhh... kongcu..."

"Cu Ing, jangan kau merendahkan diri sebagai gadis dusun. Biar ada selaksa bidadari turun dari sorga, aku akan tetap memilih engkau seorang. Jangan engkau menyangsikan cintaku terhadapmu, Cu Ing. Kau tadi bilang, bahwa fihak perempuan tidak bicara tentang perjodohan, nah, sekarang akulah yang bicara..."

Sepasang mata itu terbelalak memandang ke arah Thian Sin.
"Kongcu...! Jadi kau... kau tadi... kembali engkau mengintai..." wajah yang manis itu menjadi semakin merah.

Thian Sin tersenyum dan mengangguk.
"Aku ingin sekali melihatmu, ingin sekali bertemu dan bicara denganmu..."

"Ihh, kau nakal... kongcu!"

Tadinya Cu Ing hendak marah, akan tetapi aneh, begitu dia melihat wajah tampan itu tersenyum, semua kemarahannya lenyap begitu saja dan jantungnya berdebar tegang.

Pendekar Sadis







Tidak ada komentar: