*

*

Ads

Selasa, 02 Mei 2017

Pendekar Sadis Jilid 030

"Tapi aku... aku malu..."

"Mengapa harus malu? Hal itu telah terjadi, Sin-te, dan kalau hanya karena malu lalu diam-diam saja dalam kegelisahan, hal itu lebih tidak baik lagi. Kalau kita bercerita kepada ayah dengan sejujurnya, tentu ayah akan dapat menasihatkan bagaimana baiknya menghadapi hal seperti ini."

Setelah ditenangkan oleh Han Tiong, akhirnya maulah Thian Sin pergi menghadap ayah angkatnya dan Han Tiong yang menceritakan kepada ayahnya tentang pengalaman Thian Sin semalam. Thian Sin duduk sambil menundukkan muka, tidak berani menentang pandang mata ayah angkatnya itu, dan dia merasa malu sekali.

Mendengar penurutan Han Tiong, Cia Sin Liong tersenyum maklum dan pendekar ini mengangguk-anggukkan kepalanya.

"Baik sekali bahwa engkau tidak menyembunyikan hal itu, Thian Sin. Akan tetapi, mengapa harus kakakmu yang menceritakannya kepadaku, bukan engkau sendiri?"

Thian Sin mengangkat muka memandang wajah ayah angkatnya dan dengan lirih dia menjawab,

"Aku... aku merasa takut dan malu, Gi-hu (ayah angkat)."

Cia Sin Liong mengerutkan alisnya dan sikapnya sungguh-sungguh.
"Justeru hal inilah yang berbahaya, yaitu merasa dirimu bersalah sehingga engkau menjadi ketakutan dan malu. Mengapa engkau harus takut dan malu, Thian Sin?"

Pertanyaan itu tentu saja mencengangkan hati kedua orang muda itu.
"Tapi... Gi-hu, menurut wejangan paman Hong San Hwesio, hal itu amat berbahaya bagi kami. Paman Hong San Hwesio telah memesan dengan sungguh-sungguh agar kami jangan bermain-main dengan diri sendiri sehingga mengeluarkan mani, bahkan menjaga agar jangan sampai mengeluarkan mani sama sekali karena hal itu akan menghilangkan tenaga sakti dalam tubuh."

Cia Sin Liong mengangguk-angguk.
"Memang tidak terlalu keliru pernyataan bahwa hal itu akan melemahkan, akan tetapi bukan untuk seterusnya. Tenaga sakti yang keluar itu akan dapat pulih kembali. Memang hal itu tidak baik, akan tetapi yang lebih tidak baik lagi, yang lebih berbahaya lagi adalah perasaan takut dan malu itulah. Hal itu akan membuat engkau menjadi rendah diri, merasa berdosa dan selalu merasa malu menentang pandang mata orang lain karena merasa seolah-olah orang-orang lain tahu belaka akan keadaan dirimu. Tidak, Thian Sin, jangan engkau merasa takut dan malu! Hal yang seperti kau alami itu adalah hal yang lumrah dan banyak dialami oleh para muda, oleh karena itu tenangkan hatimu. Itu tidak merupakan hal yang terlalu hebat. Tentu saja akan lebih baik kalau sampai tidak terjadi dan kalau engkau lebih mencurahkan perhatian kepada pelajaran-pelajaranmu, baik pelajaran silat atau pelajaran satera, mengisi waktu dengan hal-hal yang berharga dan tidak terlalu membayang-bayangkan hal-hal yang dapat menimbulkan natsu berahi, maka hal inipun takkan terjadi, atau tidak sering mengganggumu."

Bukan main lega rasa hati Thian Sin mendengar keterangan ayah angkatnya itu, akan tetapi dia pun merasa malu karena pendekar itu menyambung.






"Betapapun juga, kalau hal itu terlalu sering terjadi, amat tidak baik bagi kemajuan latihan silatmu, dan juga hal itu menandakan suatu batin yang lemah."

Memang harus diakui, hal seperti yang dialami oleh Thian Sin itu, yaitu bermimpi dan menumpahkan mani di waktu tidur, banyak dialami oleh pemuda-pemuda yang menanjak dewasa. Bahkan perbuatan onani pun banyak dilakukan oleh pemuda-pemuda untuk memperoleh kepuasan seksual tanpa harus berhubungan dengan wanita karena untuk hal itu mereka belum berani melakukannya dan tidak mempunyai kesempatan untuk melakukannya.

Dan betapa banyaknya pemuda yang merasa tersiksa, diam-diam merasa seolah-olah dia telah melakukan sesuatu yang amat buruk dan berdosa, namun hal itu telah menjadi kebiasaan yang mencandu, yang sukar dilepaskannya, dia telah terikat oleh rangsangan kenikmatan yang menuntut pengulang-ulangan, dan setiap kali habis melakukan hal itu timbul rasa menyesal yang membuat dia akan merasa semakin rendah diri.

Tidak keliru pernyataan pendekar Cia Sin Liong bahwa rasa bersalah yang menimbulkan takut dan malu itu akan menciptakan perasaan rendah diri dan hal ini jauh lebih berbahaya daripada perbuatan onani itu sendiri! Oleh karena itu, bagi para pemuda yang merasa mempunyai "penyakit" ini, waspadalah, buanglah jauh-jauh rasa rendah diri yang timbul dari penyesalan, rasa takut, dan malu dan rasa berdosa itu.

Akan tetapi di samping itu harus waspada juga bahwa perbuatan itu adalah suatu perbuatan yang timbul dari kebiasaan yang sudah mencandu, dan bahwa perbuatan akibat kebiasaan itu memang amat tidak baik bagi kesehatan hati dan batin. Mengekang atau menekannya tiada guna karena akan selalu timbul, makin dikekang makin kuat daya rangsangnya sehingga tak tertahankan, lalu berbuat lagi, sehabis berbuat menyesal.

Demikian selanjutnya. Ini bukan berarti bahwa hal itu harus dibiarkan saja berlangsung. Sama sekali tidak, karena kalau sampai berlarut-larut, akibatnya amat tidak baik bagi badan dan batin. Akan tetapi kalau kita mau menghadapi hal itu setiap kali dia timbul! Setlap kali rangsangan untuk melakukan onani itu timbul, bahkan sebelum timbul, kita membuka mata dengan waspada dan penuh kesadaran, tanpa ada keinginan untuk menekan, hanya mengamati saja dengan penuh perhatian, mempelajarinya, menyelidikinya. Itu saja! Dan hal ini hanya dapat dilaksanakan, bukan hanya merupakan teori lapuk, melainkan dihayati dan dilaksanakan setiap kali dia timbul.

Buka mata, amati dengan penuh perhatian, penuh kewaspadaan. Akan nampaklah bahwa pendorongnya bersumber kepada si aku yaitu pikiran yang mengenangkan atau mengingat-ingat, membayang-bayangkan kembali kenikmatan-kenikmatan yang pernah dirasakannya.

Si aku yang ingin mengejar kenikmatan inilah yang menjadi pembujuk, pendorong sehingga "pertahanan" yang kita bangun itu ambruk dan kita menyerah kepada kehendak si aku, yaitu nafsu ingin memuaskan diri, ingin menikmati. Maka, apabila kita membuka mata memandang, penuh perhatian, tanpa adanya si aku, maka si aku yang mengejar kesenangan itu tidak ada, yang ada hanyalah kewaspadaan yang menimbulkan kesadaran dan pengertian, dan lahirlah tindakan-tindakan spontan yang akan melenyapkan semua kebiasaan itu.

Mimpi tentang hubungan seks, maupu onani, keduanya adalah akibat daripada si aku atau pikiran yang mengenang dan mengingat-ingat kembali kenikmatan. Kalau ingatan itu bertumpuk di bawah sadar, lalu timbul dalam mimpi. Sedangkan onani dilakukan karena tidak dapat menahan dorongan gairah yang timbul dan mendesak.

Hubungan seks adalah sesuatu yang wajar, yang suci. Akan tetapi kalau terdorong oleh pikiran yang mengejar kenikmatan, lalu terjadilah hal-hal yang tidak wajar. Pengamatan diri tanpa pamrih sesuatu akan melahirkan kebijaksanaan mendisiplin diri, bukan disiplin paksaaan melainkan timbul dengan sendirinya sehingga hubungan seks menjadi sesuatu yang indah, dilakukan tepat pada waktunya, tempatnya, keadaannya dan sebagainya.

Mendengar ucapan pendekar Cia Sin Liong, lenyaplah kekhawatiran Thian Sin. Akan tetapi berbareng dengan terjadinya peristiwa itu, mulailah dia menjadi dewasa dan perhatiannya terhadap gadis-gadis sebayanya pun semakin besar. Akan tetapi pemuda tanggung ini selalu dapat menahan nafsunya, sesuai dengan ajaran kebatinan yang diterimanya dari Hong San Hwesio.

Dengan demikian, rasa tertarik itu hanya dilampiaskan saja melalui kerling memikat dan senyum manis setiap kali dia bertemu dengan gadis-gadis dusun. Tentu saja sikap Thian Sin ini makin menarik para gadis itu dan segera pemuda tampan yang mereka sebut Ceng-kongcu ini menjadi bahan percakapan mereka sehari-hari.

Sikap Thian Sin ini terbalik sama sekali dibandingkan dengan sikap Han Tiong yang pendiam, terbuka dan jujur. Pemuda ini "alim" bukan karena pengekangan batin, bukan karena paksaan akan tetapi memang pikirannya bersih daripada bayangan-bayangan kesenangan berahi seperti yang digambarkan dalam batin Thian Sin.

Pada suatu hari, lewat tengah hari yang panas dua orang pemuda itu berjalan di dalam hutan. Thian Sin memanggul seekor kijang yang berhasil mereka robohkan dalam perburuan itu. Thian Sin-lah yang membujuk-bujuk kakak angkatnya untuk berburu hari itu.

"Aku ingin sekali makan daging kijang, Tiong-ko. Dan kaupun tahu, ayah ibu suka sekali makan daging kijang pula. Marilah temani aku berburu kijang."

Dibujuk-bujuk akhirnya Han Tiong yang amat menyayang adik angkatnya itupun setuju dan hampir sehari penuh mereka berkeliaran di dalam hutan memburu kijang. Memang ada binatang-binatang hutan yang lain, akan tetapi karena dari rumah tadi mereka sudah mempunyai niat berburu kijang, maka mereka tidak mengganggu binatang-binatang lain.

Akhirnya, setelah lewat tengah hari, mereka melihat seekor kijang muda yang gemuk. Dengan ilmu berlari cepat, mereka mengejarnya dan akhirnya dapat merobohkan kijang itu dengan sambitan-sambitan batu. Mereka merasa lelah dan haus karena hari itu panas sekali.

Ketika mereka melewati sebuah danau kecil yang airnya jernih, mereka berhenti, melempar bangkai kijang itu ke bawah sebatang pohon dan mereka lalu mencuci muka, tangan dan kaki sehingga terasa segar sekali. Rasa sejuk ini membuat mereka ingin mengaso.

"Tempat ini sunyi, sejuk dan indah. Mari kita mengaso sambil berlatih siulian, Sin-te," kata Han Tiong.

Adiknya setuju dan mereka berdua lalu duduk bersila diantara semak-semak, di atas rumput yang hijau tebal. Bangkai kijang itu mereka simpan pula di atas cabang pohon agar jangan diganggu binatang buas. Di balik semak-semak di tepi danau itu mereka duduk bersila dan bersamadhi, berdampingan dan Thian Sin duduk di dekat danau, kakak angkatnya di sebelah kirinya.

Karena badan lelah, kemudian terasa segar terkena air dingin dan tempat itu memang sejuk, dikipasi angin semilir, maka kedua orang muda itu dapat bersamadhi dengan hening dan tenteramnya dan mereka sudah lupa akan waktu.

Tanpa mereka sadari, mereka telah duduk berjam-jam sampai matahari mulai condong jauh ke barat dan sinarnya tidak panas lagi. Juga mereka tidak tahu, tidak melihat dan tidak mendengar suara merdu beberapa orang gadis dusun yang berjalan sambil bercanda menuju ke danau itu, membawa pakaian kotor dan para gadis itu mulai mencuci pakaian di tepi danau, di atas batu yang menonjol di danau itu sambil bercakap-cakap.

Karena dua orang itu bersamadhi di balik semak-semak, dan karena biasanya tempat itu tidak pernah ada orangnya, maka empat orang gadis itu sama sekali tidak pernah tahu bahwa tak jauh dari mereka terdapat dua orang muda tengah bersamadhi.

Setelah selesai mencuci pakaian, empat orang gadis itu lalu menanggalkan pakaian mereka untuk dicuci pula dan mereka lalu mandi dengan telanjang bulat karena mereka biasanya melakukan hal itu di tempat sunyi ini tanpa ada yang pernah mengganggu mereka. Mereka mandi sambil bercanda, bersiram-siraman, tertawa-tawa dan bernyanyi-nyanyi. Semua suara itu tidak mengganggu Han Tiong yang masih tekun bersamadhi. Tidak nampak segaris kerutpun di wajahnya karena dia tenggelam dalam keheningan yang syahdu.

Akan tetapi, suara ketawa merdu gadis-gadis itu agaknya mampu menembus keheningan yang tadinya memang dapat membuat Thian Sin bersamadhi dengan hening dan pemuda itu kini mulai menggerakkan bola matanya dan bola matanyapun mulai bergerak-gerak.

Kini kesadarannya mendorong perhatian melalui telinganya, ditujukan ke arah suara itu dan jantungnya berdebar. Suara gadis-gadis tertawa-tawa dan bersenda-gurau, dan suara percik air. Mendengar suara yang datang dari arah kanannya itu, perlahan-lahan mata kanannya dibuka, sedangkan mata kirinya masih tetap terpejam. Dan mata kanan itu terbelalak ketika dia melihat dari balik semak-semak betapa di sebelah kanan, tak jauh dari tempat dia duduk, terdapat empat orang gadis dusun yang sedang bermain-main dalam air, sedang mandi dengan bertelanjang bulat!

Wajah Thian Sin menjadi merah dan dia harus mengatur pernapasannya agar tidak terengah-engah. Dia membuka mata kiri melirik ke arah kakak angkatnya. Han Tiong masih bersamadhi dengan hening dan tekun, sedikitpun tidak bergerak dengan pernapasan yang panjang dan halus. Cepat Thian Sin menutupkan lagi mata kirinya dan kini hanya mata kanannya yang mengerling ke kanan, ke arah gadis-gadis yang sedang mandi itu.

Jantungnya berdebar semakin keras, apalagi ketika dia melihat bahwa diantara mereka terdapat Cu Ing! Gadis ini merupakan kembang dusun di sebelah selatan Lembah Naga, seorang dara remaja yang manis sekali dan sudah beberapa kali Thian Sin bertemu dengan dara manis ini yang menarik hatinya, lebih daripada dara-dara lainnya.

Kalau biasanya di waktu bertemu dengan Cu Ing, dara itu sudah tampak manis, kini dalam keadaan tanpa pakaian sama sekali itu Cu Ing nampak lebih jelita lagi, dengan kulit tubuh yang putih kekuningan, dengan lekuk lengkung tubuh yang menggairahkan.

Setelah mata kanan Thio Sin meliar ke arah tubuh empat orang dara itu, akhirnya pandang matanya berhenti dan terpesona kepada Cu Ing seorang dan dia hampir tak dapat menahan mulutnya untuk berseru kecewa ketika empat orang dara itu menghentikan dan mengakhiri mandi mereka dan selelah mengeringkan tubuh mereka lalu mengenakan pakaian bersih.

Pendekar Sadis







Tidak ada komentar: