*

*

Ads

Selasa, 02 Mei 2017

Pendekar Sadis Jilid 028

Thian Sin membuka mata lebar-lebar ketika dia bersama Han Tiong dan ayah ibu mereka memasuki daerah Lembah Naga. Jadi inikah yang dinamakan Lembah Naga, pikirnya. Ada suatu keanehan di dalam hatinya. Mengapa dia merasa seolah-olah dia tidak asing berada di tempat ini? Mengapa dia merasa seolah-olah dia sudah pernah, bahkan sering, melihat tempat-tempat ini? Akan tetapi dia menyimpan saja keanehan ini dalam hatinya dan dia mendengarkan dengan penuh perhatian ketika Han Tiong menceritakan kepadanya tentang keadaan di daerah itu.

"Daerah ini dahulu dinamakan Rawa Bangkai, menurut cerita ayah dahulu disini banyak sekali terdapat rawa-rawa yang berbahaya, berisi lumpur-lumpur yang dapat membunuh siapa saja yang terperosok ke dalamnya karena mempunyai daya sedot dan amat dalam. Akan tetapi semenjak disini merupakan daerah terbuka bagi rakyat dari seluruh penjuru, tempat ini sekarang berubah menjadi pedusunan. Lihat, mereka itu adalah penghuni dusun pertama yang sudah melihat kedatangan kami. Ayah dan ibu amat dihormati disini, karena kami membiarkan mereka tinggal di daerah Lembah Naga tanpa dipungut pajak apa pun."

Dan memang sebenarnyalah. Dari dalam sebuah dusun pertama, berduyun-duyun keluar orang-orang, laki-laki dan perempuan, tua muda dengan wajah riang gembira menyambut kedatangan rombongan itu.

Thian Sin melihat bahwa mereka adalah petani-petani yang bertubuh sehat dan berwajah gembira, bahkan agaknya berpakaian cukup rapi sungguhpun sederhana dan bentuk tubuh serta wajah mereka cukup tampan dan manis, menandakan bahwa kehidupan mereka tenteram dan mereka tidak kekurangan makan di tempat itu. Nampak olehnya beberapa orang anak-anak, yang laki-laki juga kelihatan periang dan kuat sedangkan anak-anak wanitanya juga manis-manis dan lucu-lucu.

"Selamat datang, Cia-kongcu!"

Demikian semua orang menyambut Han Tiong. Mereka masih mengenal pemuda yang telah pergi selama tiga tahun itu dan beberapa orang anak laki-laki sebaya Han Tiong sudah datang mendekat dan tersenyum-senyum agak malu-malu.

Han Tiong mengangkat tangan dan berseru ke kanan kiri.
"Apa kabar? Mudah-mudahan kalian baik-baik saja semua!"

Demikianlah, mereka melalui beberapa buah pedusunan yang hanya ditinggali oleh puluhan orang, dan semua penghuni pedusunan itu menyambut dengan gembira, sampai akhirnya mereka tiba di sebuah istana tua, Istana Lembah Naga dan jantung Thian Sin berdebar keras!

Dia berdiri di depan istana kuno itu dan merasa seperti mimpi. Istana ini tidak asing baginya! Sering dia bertemu dengan bangunan ini, dalam mimpi! Mimpikah dia ketika bertemu dengan bangunan ini, ataukah sekarang ini dia sedang mimpi? Digosok-gosoknya matanya dan dia merasa terheran-heran!

"Ada apakah dengan matamu, Sin-te (adik Sin)?" tanya Han Tiong sambil menyentuh pundaknya.

Thian Sin menoleh dan tersenyum, menghentikan menggosok-gosok mata akan tetapi masih mengerling ke arah bangunan itu dengan penuh keheranan.






"Ah, tidak apa-apa, Tiong-ko, aku hanya kagum melihat bangunan ini begini kokoh kuat dan... menyeramkan!"

"Thian Sin, bangunan ini pernah menjadi tempat tinggal Raja Sabutai, juga pernah menjadi tempat tinggal mendiang ayahmu, sebelum engkau terlahir..."

Mendengar ucapan Sin Liong yang kelihatan terharu itu, Thian Sin mengangguk-angguk dan mengertilah dia sekarang mengapa ada suatu pertalian batin antara dia dengan tempat ini. Kiranya tempat ini pernah menjadi tempat tinggal ayahnya. Dia sama sekali tidak tahu bahwa tempat ini pun merupakan tempat dimana ayahnya jatuh, dimana ayahnya melihat hancurnya semua cita-citanya, bahkan dimana ayahnya mengalami kekalahan mutlak, yaitu dari Pendekar Lembah Naga yang sekarang menjadi ayah angkatnya itu!

Demikianlah, mulai hari itu Thian Sin tinggal di Istana Lembah Naga, dan dengan tekun dia bersama Han Tiong mulai berlatih ilmu silat tinggi dibawah bimbingan Cia Sin Liong. Sin Liong menurunkan semua kepandaiannya dengan sungguh hati, mengajarkan ilmu-ilmu silat yang dimilikinya, tentu saja disesuaikan dengan bakat kedua anak itu.

Setelah mulai mengajarkan ilmu silat tinggi kepada dua orang pemuda itu, Sin Liong dapat melihat bahwa bakat pada Thian Sin sungguh amat menonjol! Dia terkejut dan kagum dan harus diakuinya bahwa Thian Sin ternyata lebih menonjol dibandingkan dengan puteranya sendiri, sungguhpun puteranya juga seorang yang berbakat amat baik.

Hal ini karena Thian Sin memiliki kecerdikan yang luar biasa sehingga anak ini mampu merangkai sendiri gerakan-gerakan ilmu silat dan menambahkan kembangan-kembangan yang baik sekali. Akan tetapi diapun melihat bahwa Han Tiong memiliki ketenangan dan kewaspadaan sehingga anak ini lebih matang dalam melatih ilmu, tidak seperti Thian Sin yang ingin segera memperoleh kemajuan dan ingin segera mempelajari ilmu lain.

Setiap satu jurus gerakan silat tinggi tentu akan dilatih oleh Han Tiong secara tekun dan anak ini belum merasa puas kalau belum mampu mainkan jurus itu dengan sempurna, tanpa mau menengok kepada jurus baru yang lain. Sebaliknya, Thian Sin ingin cepat menguasai jurus ini untuk segera dapat mempelajari jurus lain. Dia seolah-olah seorang yang rakus dan kelaparan, ingin mempelajari sebanyak-banyaknya. Sifat anak ini kadang-kadang membuat Sin Liong termenung dan teringat betapa besar persamaan antara sifat anak ini dengan sifat mendiang ayahnya, Pangeran Ceng Han Houw.

Akan tetapi, agaknya, bekas gemblengan Hong San Hwesio masih nampak, anak itu kelihatan alim dan halus budi, bahkan suka sekali membaca kitab, suka sekali bersajak sehingga dia amat sayang kepada Thian Sin.

Bi Cu sendiripun yang tadinya masih selalu membenci mendiang ayah anak itu, setelah melihat sikap Thian Sin, tak lama kemudianpun merasa suka sekali dan menganggap Thian Sin sebagai anak sendiri. Memang Thian Sin mempunyai pembawaan yang memikat dan dapat dengan mudah menundukkan hati orang. Apalagi semakin dia besar, ketampanannya semakin menonjol. Semua penghuni dusun-dusun sekeliling Lembah Naga amat suka kepadanya karena dia ramah sekali, berbeda dengan Han Tiong yang pendiam.

Thian Sin selalu menegur dan menyapa orang-orang dusun yang dijumpainya, mengajak mereka beramah-tamah dan suka bersendau-gurau, jenaka dan pandai menyenangkan hati orang dengan kata-katanya. Dia lemah lembut dan memiliki daya tarik yang luar biasa. Apalagi terhadap wanita! Semua wanita di dusun-dusun sekitar Lembah Naga mengenalnya dan sering membicarakannya dengan hati penuh kagum.

Apalagi para gadisnya. Boleh dibilang semua gadis di dusun-dusun sekitarnya tergila-gila belaka kepada pemuda tanggung ini! Dan karena Thian Sin belum dewasa benar, para gadis itupun tidak malu-malu untuk menegurnya dan mengajaknya bicara setiap kali bertemu dan ada kesempatan. Dan sikap para gadis ini pun tidak menyembunyikan rasa suka mereka kepada Thian Sin sehingga terasa benar oleh pemuda tanggung ini.

Akan tetapi Thian Sin masih hijau, maka diapun menanggapi semua sikap memikat para wanita itu dengan halus, bahkan agak malu-malu dan manja sehingga membuat para wanita itu semakin tergila-gila! Terhadap Thian Sin, para wanita ini berani menggoda, mengajak bercanda. Sebaliknya menghadapi Cia-kongcu, yaitu Cia Han Tiong yang pendiam dan serius, yang halus dan jujur, para gadis itu amat segan dan takut, tidak berani main-main. Bahkan sikap terbuka dari mereka yang mengajak Thian Sin bercanda itupun lenyap apabila di situ ada Han Tiong.

Han Tiong mempunyai wibawa yang amat terasa oleh siapapun juga. Thian Sin sendiri merasakan wibawa ini dan terhadap kakak angkatnya ini, Thian Sin merasa amat tunduk di samping rasa sayang dan kagum yang besar. Juga dengan pemuda-pemuda tanggung dari dusun sekitarnya, baik Thian Sin maupun Han Tiong tidaklah asing.

Hanya bedanya, kalau pemuda-pemuda itu bersama dengan Han Tiong, pemuda pendiam ini bersikap membimbing dan menuntun mereka untuk membebaskan mereka dari cara berpikir yang terlalu sederhana dan bodoh dari seorang anak desa, memberi penerangan-penerangan sehingga dia dianggap sebagai seorang yang besar dan semua pemuda dusun memandangnya seperti pemimpin yang patut dihormati dan disegani.

Sebaliknya Thian Sin bergaul dengan mereka seperti sahabat, bercanda dengan mereka, bermain-main dengan mereka. Sungguh pemuda tanggung ini amat pandai bergaul dan dapat menarik hati siapapun juga!

Dan agaknya, berkat bimbingan selama tiga tahun dari Hong San Hwesio agaknya, pemuda tanggung ini telah dapat melenyapkan atau menekan dendam sakit hatinya atas kematian kedua orang tuanya.

Demikianlah nampaknya secara lahiriah. Akan tetapi sesungguhnyakah dendam sudah lenyap dari dalam hati pemuda tampan ini? Dapatkah dendam, sakit hati, perasaan marah, kebencian, iri hati, keserakahan, rasa takut, dan sebagainya dapat lenyap dari batin, dengan jalan melarikan diri dari semua itu atau dengan jalan menekannya? Hal ini penting sekali bagi kita untuk menyelidikinya dan mempelajarinya karena dalam kehidupan kita setiap hari tentu ada saja satu di antara nafsu-nafsu itu muncul di dalam hati kita. Mungkinkah kita terbebas dari semua nafsu itu dengan daya upaya kita?

Dari mana timbulnya nafsu-nafsu seperti dendam, kebencian, marah, iri, serakah, takut dan sebagainya itu? Semua itu timbul dari adanya pikiran yang membentuk si aku dengan keinginannya untuk mengejar kesenangan dan menjauhi kesusahan. Karena si aku ini merasa diganggu, dirugikan baik lahir maupun batin, maka timbullah kemarahan, kebencian dan sebagainya. Karena si aku ini ingin mengejar kesenangan, maka lahirlah keserakahan, iri hati dan sebagainya.

Setelah muncul kemarahan, dari pengalaman atau dari penuturan orang lain, si aku melihat bahwa kemarahan itu tidak akan menguntungkan. Maka timbullah keinginan lain lagi, yaitu keinginan untuk melenyapkan kemarahan! Jelas bahwa yang marah dan yang ingin bebas dari kemarahan itu masih yang itu-itu juga, masih si aku yang ingin senang karena ingin bebas dari kemarahan itupun pada hakekatnya hanya si aku ingin senang, menganggap bahwa bebas marah itu senang atau menyenangkan!

Jadi, si marah adalah aku sendiri, dia yang ingin bebas marahpun aku sendiri. Bermacam daya upaya dilakukannya oleh kita untuk bebas dari kemarahan atau kebencian dan sebagainya.

Ada yang melarikan diri dari kenyataan itu dengan cara menghibur diri, minum arak sampai mabuk, bersenang-senang sampai mabuk atau mengasingkan diri di tempat sunyi. Ada pula yang mempergunakan kekuatan kemauan untuk menghimpit dan menekan kemarahan yang timbul itu, pendeknya, segala macam daya upaya dilakukan orang untuk membebaskan diri daripada kenyataan, yaitu amarah itu.

Bagaimana hasilnya? Memang nampaknya berhasil, nampak dari luar memang berhasil. Yang marah itu tidak marah lagi oleh penekanan kemauan atau oleh hiburan. Akan tetapi, tak mungkin melenyapkan penyakit dengan hanya menggosok-gosok agar nyerinya berkurang atau lenyap. Karena penyakitnya masih ada, maka rasa nyeri itupun tentu akan timbul kembali!

Demikian pula dengan kemarahan, kebencian dan sebagainya. Memang dengan penekanan atau hiburan, kemarahan itu seolah-olah pada lahirnya sudah lenyap, api kemarahan itu seolah-olah sudah padam. Akan tetapi sesungguhnya tidaklah demikian! Api itu masih membara, seperti api dalam sekam, di luarnya tidak nampak bernyala namun di sebelah dalamnya membara masih ada dan sewaktu-waktu akan berkobar lagi. Karena itulah, tercipta lingkaran setan pada diri kita. Marah, disabarkan atau ditekan lagi, marah lagi, ditekan lagi dan seterusnya selama kita hidup!

Mengapa kita tidak hadapi secara langsung segala yang timbul itu? Di waktu timbul marah, timbul benci, timbul iri, timbul takut dan sebagainya. Mengapa, kita lari? Mengapa kita tidak menanggulanginya secara langsung, mengamatinya, menyelidiki dan mempelajarinya secara langsung? Mengapa kita tidak membuka mata dan waspada, penuh kesadaran akan semua itu? Kalau marah timbul dan kita membuka mata penuh kewaspdaan, mengamatinya tanpa ada akal bulus si aku yang ingin merubah, ingin sabar dan sebagainya seperti itu, kalau yang ada hanya kewaspdaan saja, pengamatan saja, maka apakah akan terjadi dengan kemarahan yang timbul itu? Cobalah!

Segala pengertian itu tanpa guna kalau tidak disertai penghayatan! Pengertian berarti penghayatan! Tanpa penghayatan maka pengertian itu hanya menjadi pengetahuan kosong belaka, hanya akan menjadi teori-teori usang yang pantasnya hanya disimpan di lemari lapuk untuk hiasan belaka, tidak ada manfaatnya bagi kehidupan. Nah, kalau ada timbul marah, benci, takut dan sebagainya, kita hadapi dan kita buka mata mengamatinya dengan penuh perhatian, penuh kewaspadaan dan kesadaran. Kemarahan dan dendam timbul karena adanya sang pikiran, si aku yang tersinggung atau dirugikan. Kalau tidak ada si aku yang merasa dirugikan, apakah ada kemarahan itu?

Hanya pengamatan dengan penuh kewaspadaan yang akan mendatangkan pengertian yang berarti penghayatan pula, melahirkan tanggapan-tanggapan spontan seketika. Dan pengertian dari pengamatan ini yang akan meniadakan marah atau dendam. Dan tidak adanya marah atau dendam mendekatkan kita kepada kebebasan dan cinta kasih. Dan kalau sudah begitu tidak perlu lagi belajar sabar!

Dalam pergaulan mereka dengan para muda di dusun-dusun, terutama dengan para gadisnya, Han Tiong bersikap wajar, sopan dan tertib. Akan tetapi Thian Sin, pada usia yang lebih lima belas tahun, mulai merasa betapa mudahnya dia tertarik oleh kemanisan seorang wanita. Namun, diapun maklum bahwa dia harus dapat mengekang nafsu seperti yang telah diajarkan oleh Hong San Hwesio kepadanya. Memang pengekangan nafsu, pengendalian diri, tekanan, tekanan dan sekali lagi tekanan demikianlah yang selama ini diajarkan dan ditekankan kepada kita!

Pendekar Sadis







Tidak ada komentar: