*

*

Ads

Selasa, 02 Mei 2017

Pendekar Sadis Jilid 027

Dua orang anak laki-laki itu mengantar suami isteri itu sampai keluar pekarangan kuil, bersama dengan Hong San Hwesio dan mereka berdua itu kelihatan tenang-tenang sampai bayangan dua orang itu lenyap, Han Tiong masih berdiri tegak. Adik angkatnya mengerling ke arahnya, menduga bahwa tentu Han Tiong akan nampak bersedih atau menangis ditinggal ayah bundanya, akan tetapi ternyata sama sekali tidak, Han Tiong nampak tenang-tenang saja, wajahnya yang membayangkan kejujuran itu nampak tersenyum.

Maka kagumlah rasa hati Thian Sin. Dia melihat sesuatu yang amat kuat memancar dari wajah dan diri kakak angkatnya ini, yang membuat dia tunduk dan merasa suka sekali.

Semenjak hari itu, mulailah dua orang anak laki-laki itu menerima gemblengan Hong San Hwesio. Segera ia melihat bahwa Han Tiong memiliki dasar yang jauh lebih kuat daripada Thian Sin dalam hal kebatinan, karena Han Tiong memang memiliki dasar watak yang tenang dan kuat, bersih dan jujur bersahaja.

Sebaliknya Thian Sin lebih penuh gairah, pikirannya selalu bekerja, dan perasaannya terlalu halus sehingga mudah sekali menerima guncangan-guncangan, apalagi di dasar batin Thian Sin telah tergores secara mendalam tentang kematian ayah bundanya, yang merupakan dendam yang amat mendalam. Oleh karena itu, biarpun Thian Sin sudah lebih dulu menerima bimbingannya selama setengah tahun, namun segera dia tahu bahwa Han Tiong jauh lebih kuat.

"Kalian harus belajar samadhi yang baik, bukan hanya untuk menghimpun tenaga sakti guna memperkuat tubuh dan memudahkan serta menguatkan dasar-dasar untuk ilmu silat tinggi, akan tetapi terutama sekali untuk menenangkan dan membersihkan batin."

Dia lalu mengajarkan kepada mereka cara bersamadhi yang baik, duduk bersila dan bersamadhi setiap pagi di dalam cahaya matahari pagi menghadap ke timur di waktu matahari terbit, dan menghadap ke barat, di dalam cahaya matahari senja di waktu matahari sedang tenggelam.

Di dalam kamar samadhinya yang tenang Hong San Hwesio mulai melatih dua orang keponakannya itu duduk bersamadhi, bersila dalam kedudukan Bunga Teratai. Asap hio harum menambah sejuk dan tenang suasana dalam kamar itu. Dua orang anak laki-laki itu duduk bersila, dengan kedua kaki terlentang di atas kedua paha, kedua lengan terlentang di atas paha dekat lutut, dengan kedua jari telunjuk melingkar dan menyentuh pertengahan ibu jari dan ketiga jari yang lain terbuka.

Duduk dengan tenang, sedikitpun tidak bergerak, kedua mata terpejam dan bola matanya tidak bergerak, seluruh urat syaraf dalam tubuh seolah-olah mengendur semua, pernapasan halus panjang-panjang dan hanya dada dan perut mereka sajalah yang nampak bergerak, naik turun sesuai dengan keluar masuknya pernapasan yang halus panjang.

Selain pelajaran bersamadhi, beberapa hari sekali pendeta itu mengajarkan ujar-ujar dari kitab-kitab suci, memberi wejangan tentang kehidupan, tentang kebatinan dan kebajikan dalam hidup menurut ajaran Agama Buddha. Juga kedua orang anak laki-laki itu disuruh membaca kitab-kitab kuno, tentang filsafat hidup dan kesusasteraan.

Hanya di waktu terluang saja Hong San Hwesio menyuruh mereka melatih ilmu silat yang pernah mereka pelajari dari orang tua masing-masing, dan pendeta itu hanya memberi petunjuk saja untuk menyempurnakan gerakan-gerakan mereka, tidak mengajarkan ilmu silat karena apa artinya dia mengajarkan ilmu silat kepada putera kandung dan putera angkat Pendekar Lembah Naga?






Karena terbawa oleh Thian Sin yang gembira, Han Tiong juga ikut-ikut mempelajari membuat sajak dan meniup suling, akan tetapi dalam dua hal ini, Han Tiong kalah jauh dibandingkan dengan Thian Sin yang memiliki bakat seni yang besar.

Kakak beradik angkat ini ternyata dapat hidup dengan amat rukun dan saling sayang. Thian Sin memang memiliki watak yang riang gembira dan lincah jenaka, sungguhpun gerak-geriknya halus, sehingga wataknya ini kadang-kadang membuat Han Tiong yang anteng dan pendiam itu tersenyum gembira.

Pandai sekali Thian Sin menyenangkan hati kakak angkatnya dan semakin lama, Han Tiong semakin suka dan sayang kepada adik angkatnya ini. Demikian pula Thian Sin, karena sikap Han Tiong selalu lemah lembut dan halus, sabar dan jujur, terbuka, maka Thian Sin merasa betapa ada suatu kekuatan yang hebat terkandung dalam sinar mata kakaknya itu sehingga mau tidak mau, membuat dia tunduk dan penurut. Di samping kakaknya, dia merasa terlindung dan memperoleh segala-galanya, sekaligus memperoleh pengganti kasih sayang orang tua, juga kasih sayang seorang sahabat dan seorang saudara yang boleh dipercaya sepenuhnya.

Diam-diam Hong San Hwesio amat memperhatikan pertumbuhan batin kedua orang anak itu dan diapun merasa amat lega dan juga amat girang bahwa Thian Sin mendapatkan seorang kakak angkat seperti Han Tiong. Dia melihat bahwa biarpun Thian Sin amat taat kepadanya dan mempelajari soal-soal keagamaan dan kebatinan serta kesusasteraan dengan amat tekun, namun di dasar hati anak ini terdapat kekerasan yang mengerikan hatinya kadang-kadang.

Kalau sampai kelak dendam di dalam hati anak ini bangkit kembali, dia tidak berani membayangkan apa yang akan terjadi. Sebagai seorang yang memperhalus kepekaan batinnya, pendeta ini dapat melihat dasar watak yang amat keras dari pemuda cilik ini, akan tetapi diapun melihat betapa Thian Sin amat sayang dan amat segan dan tunduk kepada Han Tiong. Kelak, andaikata terjadi bahwa kuda liar yang tersembunyi di balik ketenangan Thian Sin itu bangkit dan menjadi buas, kiranya hanya Han Tiong inilah yang akan dapat menundukkannya dan menuntunnya ke dalam jalan yang benar.

Memang rukun sekali dua orang anak itu. Apapun yang dilakukan oleh Han Tiong selalu diturut oleh Thian Sin. Juga dalam hal pelajaran ilmu silat, sudah nampak jelas bahwa Thian Sin memiliki dasar kecerdikan sehingga dalam gerakannya terdapat banyak perkembangan yang dicarinya sendiri.

Sebaliknya Han Tiong hanya berpegang kepada dasarnya, dengan mempelajarinya secara tekun dan sungguh-sungguh, maka gerakan ilmu silatnyapun tenang dan tegap, matang dan biarpun tidak memungkinkan perkembangan-perkembangan, namun dasarnya kokoh kuat seperti batu karang.

Jelaslah bahwa kelak kalau sudah sama jadinya, Thian Sin akan memiliki gerakan ilmu silat yang lebih kaya dan memungkinkan dia memperkembangkan gerakan-gerakan itu, sedangkan Han Tiong akan memiliki gerakan yang aseli dan kokoh kuat.

Kalau dilihat dari belakang, orang-orang akan merasa kagum dan suka kepada dua orang anak laki-laki yang dalam usia belasan tahun itu sudah membayangkan tubuh yang sehat kuat, tubuh yang punggungnya tegak lurus, kepala tegak dan kedua kaki kokoh kuat, bayangan tubuh calon-calon pendekar.

Akan tetapi kalau orang melihat dari depan, baru nampak banyak perbedaan. Thian Sin memiliki wajah yang amat tampan dan halus, garis-garis mukanya halus seperti muka wanita, alisnya, matanya, bahkan telinganya berhentuk indah, sehingga dia tampan sekali, terlalu tampan sehingga akan menarik perhatian setiap orang yang berjumpa dengannya. Sedangkan Han Tiong merupakan seorang anak laki-laki biasa saja, tidak terlalu tampan walaupun tak dapat disebut buruk, hanya sinar matanya amat dalam dan tenang, seperti lautan, dan sikapnya serta gerak-geriknya juga amat tenang dan membayangkan kekuatan luar biasa.

Akhirnya, lewat waktu tiga tahun itu. Waktu memang berlalu dengan amat cepatnya dan tidak terasa kalau tidak diperhatikan. Tiga tahun seolah-olah terasa baru tiga hari saja, tanpa dirasakan, tahu-tahu kini Han Tiong telah menjadi seorang pemuda tanggung berusia empat belas tahun!

Dan selama tiga tahun itu, mereka telah digembleng siang malam oleh Hong San Hwesio sehingga mereka telah mampu membaca kitab-kitab kesusasteraan dan filsafat kuno, baik kitab-kitab Agama Buddha maupun Agama To atau kitab-kitab Su-si Ngo-keng! Dan berkat latihan-latihan ilmu silat yang mereka terus latih dengan tekun, juga karena mereka telah memiliki dasar ilmu silat tingkat tinggi, maka dalam usia tiga belas dan empat belas tahun, mereka sudah nampak seperti seorang pemuda dewasa!

Ketika Sin Liong dan Bi Cu datang menjemput, suami isteri ini memandang dengan wajah berseri-seri kepada putera mereka yang ternyata telah menjadi seorang pemuda yang gagah perkasa dan halus gerak-geriknya, dengan wajah yang menyinarkan kelembutan hati dan kebijaksanaan yang menyambut kedatangan mereka dengan sikap hormat dan gembira namun tidak berlebihan.

Betapa besar perbedaannya antara Han Tiong kini dan tiga tahun yang lalu. Kini nampak begitu masak, seolah-olah telah menjadi seorang pemuda dewasa! Dan diam-diam timbul rasa iri di dasar hati Bi Cu ketika dia melihat betapa pemuda yang berdiri di samping puteranya itu, Ceng Thian Sin, ternyata telah menjadi seorang pemuda yang luar biasa tampannya! Akan tetapi rasa iri ini segera ditutupnya dengan sedikit kebanggaan ketika mengingat bahwa pemuda tanggung yang amat tampan dan ganteng itu adalah anak angkatnya!

Sin Liong menghaturkan terima kasih kepada Hong San Hwesio atas bimbingannya kepada dua orang anak itu selama tiga tahun, dan dalam kesempatan ini, Hong San Hwesio mengajak Sin Liong masuk untuk bicara empat mata saja. Setelah mereka duduk berhadapan, Hong San Hwesio menghela napas dan berkata,

"Adikku Sin Liong, sebelum engkau menurunkan ilmu-ilmu silat tinggi kepada kedua orang puteramu, sebaiknya kalau pinceng memberitahukan hal-hal penting yang pinceng lihat dalam diri mereka."

Sin Liong merasa girang sekali.
"Tentu saja, twako. Memang selama ini tentu twako yang lebih mengetahui perkembangan batin mereka, dan adalah penting untuk mengetahui perkembangan itu dan dasar-dasar watak mereka."

"Tentang Han Tiong, tidak ada yang perlu diragukan. Dia boleh dipercaya sepenuhnya dan dia merupakan calon pendekar yang sempurna. Hal ini bukan merupakan pujian kosong di depan ayahnya belaka, akan tetapi sesungguhnya puteramu Han Tiong itu memiliki dasar watak dan batin yang amat kuat dan murni."

"Dan bagaimana dengan Thian Sin?" tanya Sin Liong khawatir karena dia dapat menduga bahwa dengan mengemukakan kebaikan Han Tiong, berarti ada sesuatu yang tidak beres pada diri Thian Sin.

"Itulah..., dia seorang anak yang baik sekali, penurut, rajin dan patuh. Juga dia amat peka, mudah sekali mempelajari hal-hal yang baik, bahkan amat cerdas, bahkan lebih cerdas dibandingkan dengan Han Tiong. Justeru kepekaannya inilah yang mengkhawatirkan, membuat dia mudah sekali dipengaruhi perasaan dan membuat dia mudah berubah. Pinceng sudah mencoba untuk menanamkan dasar-dasar watak pendekar utama pada batinnya, akan tetapi tetap saja pinceng khawatir kalau-kalau kelak ada sesuatu yang akan membongkar semua itu dan perasaan hatinya yang akan menang. Dan kecerdikannya itu kadang-kadang terlalu luas sehingga sukarlah menyelami hatinya. Dia pandai menyelimuti perasaannya, pandai menyimpan segala sesuatu, di waktu murung bisa saja dia berseri-seri dan tersenyum-senyum, dan demikian sebaliknya sehingga kadang-kadang pinceng merasa terkejut juga. Nah, engkau sudah mengenal kelebihan dan kekurangannya, maka harap kau waspada dan didiklah dia sebaik-baiknya."

Sin Liong tersenyum. Gejala-gejala seperti itu bagi seorang pemuda tanggung adalah hal wajar saja. Dia tidak tahu bahwa pendeta itu telah memiliki kemampuan untuk memandang dengan lebih mendalam lagi!

"Baiklah, twako. Akan kuperhatikan dia."

"Dan selain itu... pinceng tidak pernah mencoba untuk mengetahui rahasianya, akan tetapi kalau tidak salah dia menyimpan suatu rahasia, mungkin berupa kitab-kitab peninggalan ayahnya, entah kitab apa yang disimpannya baik-baik dan tak pernah diperlihatkan kepada siapapun juga termasuk pinceng itu. Harap kau amati hal itu."

Sin Liong mengangguk-angguk dan di dalam hatinya dia dapat menduga bahwa agaknya Ceng Han Houw telah meninggalkan ilmu-ilmu mujijatnya yang dipelajarinya dari kitab-kitab Bu Beng Hud-couw itu kepada putera kandungnya itu. Ketika dua orang pemuda tanggung itu hendak berangkat untuk ikut bersama pendekar itu dan isterinya ke Lembah Naga, mereka menjatuhkan diri berlutut di depan kaki Hong San Hwesio sambil menghaturkan terima kasih atas segala bimbingan dan kebaikan hwesio itu. Hong San Hwesio menyentuh kepala mereka dan berdoa untuk mereka, kemudian memberi wejangan-wejangan terakhir.

"Semoga dalam mempelajari ilmu silat di Lembah Naga, kalian akan selalu ingat bahwa semua ilmu ini kita pelajari demi untuk membantu alam, demi untuk kesejahteraan seluruh manusia di dunia ini, bukan hanya untuk alat mengejar kesenangan diri sendiri belaka."

Berangkatlah Cia Sin Liong, isteri dan dua orang puteranya itu meninggalkan Kuil Thian-to-tang, meninggalkan Hong San Hwesio yang berdiri di depan kuil memandang

**** 027 ****
Pendekar Sadis







Tidak ada komentar: