*

*

Ads

Selasa, 02 Mei 2017

Pendekar Sadis Jilid 023

Enam orang perajurit itu terkejut dan saling pandang. Mereka adalah pengawal-pengawal dari Ciong-taijin, maka karena mereka pun datang dari Tai-goan, tentu saja mereka mengenal siapa adanya Pak-san-kui dan merekapun tahu bahwa datuk itu kini menjadi tamu majikan mereka. Biarpun hanya kabar angin dan tidak secara langsung, mereka mendengar pula bahwa Pak-san-kui mengundang seorang pendekar yang disebut Pendekar Lembah Naga, maka mendengar pengakuan Sin Liong mereka menjadi terkejut.

"Tunggulah... tunggulah kami melapor..." kata mereka dan seorang diantara mereka segera lari masuk ke dalam.

Sin Liong menanti dengan tenang, berdiri tegak seperti patung memandang ke arah pintu rumah gedung itu. Apakah anak isterinya berada di dalam gedung itu? Masih dalam keadaan selamat?

Tiba-tiba muncul serombongan orang yang berpakaian biasa, orang-orang yang bertubuh tinggi besar dan bersikap angkuh. Mereka keluar dari dalam pintu dan menghampirinya dengan lagak memandang rendah dan tertawa-tawa. Seorang diantara mereka, yang bercambang bauk, segera menghadapinya dan memandang dari atas sampai ke bawah, seolah-olah tidak percaya bahwa yang disebut Pendekar Lembah Naga itu hanya seorang pria biasa saja, dengan pakaian sederhana dan tubuhnya yang sedang.

"Engkaukah yang bernama Cia Sin Liong?" tanyanya, nada suaranya seperti kebiasaan seorang pembesar tinggi bertanya kepada seorang rakyat kecil, seperti orang yang duduk di tempat tinggi bertanya kepada orang yang berjongkok jauh di bawahnya.

Sin Liong adalah seorang pendekar sakti yang sudah penuh gemblengan hidup, maka dia hanya tersenyum saja melihat tingkah ini, seperti seorang dewasa melihat tingkah seorang bocah nakal. Dia sendiri pernah tinggal di istana, pernah menjadi adik angkat seorang pangeran, maka dia banyak mengenal watak pembesar seperti ini. Akan tetapi diapun dapat menyangka bahwa orang ini hanyalah kaki tangan pembesar, semacam pengawal atau tukang pukul, dan biasanya memang para tukang pukul atau pembantu yang kasar-kasar ini jauh lebih congkak daripada si pembesar itu sendiri!

Memang demikianlah keadaan kita manusia dalam dunia ini. Kita selain ingin merasa lebih tinggi daripada orang lain, lebih pandai, lebih tampan, lebih kuat, lebih berkuasa dan segala macam lebih lagi. Dari manakah timbulnya ketinggian hati atau kecongkakan, keangkuhan dan kesombongan itu? Kita selalu menciptakan suatu gambaran tentang diri sendiri, gambaran yang diambil dari segi baik dan segi lebihnya saja, dan untuk mempertahankan gambaran inilah maka kita bersikap angkuh kepada orang lain yang kita anggap lebih rendah.

Kalau kita menginginkan untuk memiliki gambaran diri yang sedemikian tingginya karena kita melihat kenyataan kita yang rendah, seperti para pembantu pembesar itu. Kenyataannya sehari-hari, mereka itu menjadi bawahan, dan kenyataan itu membuka mata bahwa mereka itu jauh lebih rendah daripada atasan mereka. Oleh karena itu timbul keinginan untuk memiliki gambaran diri yang tinggi, dan hal ini menimbulkan sikap yang congkak seolah-olah dia sudah menjadi seorang yang tinggi kedudukannya seperti yang digambar-gambarkannya itu.

Setiap orang ingin menonjolkan diri agar dianggap paling tinggi paling pandai, dan segala macam "paling" lagi. Dan semua ini tentu saja menimbulkan konflik, baik konflik dalam batin sendiri antara kenyataan dan penggambaran, juga konflik keluar menghadapi orang lain.

Gambaran diri ini pasti timbul kalau tidak waspada, tidak sadar. Sebaliknya, kalau kita mau membuka mata dan waspada setiap saat akan diri sendiri, menghadapi kenyataannya tanpa memejamkan mata, melihat segala kekurangan dan kekotoran diri sendiri, maka akan nampaklah oleh kita bahwa yang ingin menonjolkan diri itu, yang menciptakan gambaran diri yang tinggi-tinggi itu, bukan lain adalah juga si aku, si pikiran yang menimbulkan segala kekotoran itulah!






Penglihatan yang jelas ini akan menimbulkan pengertian dan ini adalah kesadaran sehingga kitapun terbebaslah dari cengkeraman si aku yang ingin menonjolkan diri itu dan lenyap pula segala kecongkakan dan kesombongan yang menguasai diri kita.

Sin Liong tidak merasa heran melihat lagak dan tingkah orang tinggi besar bercambang bauk itu. Dia mengangguk dan berkata.

"Benar, aku bernama Cia Sin Liong."

"Hemmmm..." Kumis Tebal itu mengurut-urut kumisnya. "Jadi engkau inikah orangnya yang berjuluk Pendekar Lembah Naga?"

Sin Liong tersenyum pahit, akan tetapi dia mengangguk sebagai jawaban.

"Bagus, tuan besar kami memanggilmu, mari kau ikuti kami untuk menghadap beliau!" setelah berkata demikian, Si Cambang Bauk itu dengan empat orang temannya, lalu melangkah lebar keluar dan mereka lalu meloncat ke atas punggung kuda mereka yang sudah tersedia disitu, dan melarikan kuda mereka keluar.

"Pendekar Lembah Naga, mari kau ikuti kami! Pendekar Lembah Naga? Ha-ha-ha!" Si Cambang Bauk tertawa bergelak.

Sin Liong maklum bahwa mereka itu sengaja hendak menghinanya dan mungkin juga mencobanya, dan tentu semua itu sesuai dengan yang diperintahkan oleh atasan mereka, maka dia pun tidak banyak cerewet, lalu melangkah keluar membayangi lima orang yang menunggang kuda itu. Dan mereka itu menuju ke barat, ke tepi kota dimana terdapat sebuah jembatan yang menyeberangi sebuah sungai yang cukup lebar.

Mereka sengaja membalapkan kuda dan beberapa kali mereka menengok ke belakang, tertawa bergelak karena tidak lagi melihat bayangan Sin Liong. Mereka menyeberang jembatan lalu membelok kekiri dimana terdapat sebuah taman bunga yang sunyi dan menghentikan kuda mereka di depan pintu gerbang taman, lalu menuntun kuda mereka memasuki taman menuju ke sebuah pondok di tengah taman itu. Mereka menengok ke belakang dan tidak melihat Sin Liong maka mereka tertawa makin keras.

Akan tetapi tiba-tiba suara ketawa mereka itu berhenti di tengah-tengah ketika mereka melihat seorang laki-laki berada di depan mereka, di depan pondok itu dan mereka mengenal pria itu bukan lain adalah Cia Sin Liong yang tadi mereka tinggalkan. Wajah mereka menjadi pucat, mata mereka terbelalak dan bahkan dua diantara mereka menggosok-gogok mata mereka karena tidak percaya akan apa yang dilihatnya.

Pria itu tadi mereka tinggalkan dan mereka membalapkan kuda, tidak nampak pria itu menyusul atau melanggar mereka, bagaimana tahu-tahu pria itu telah mendahului mereka dan berada di tempat itu? Apakah dia seperti siluman yang pandai menghilang? Tentu saja tidak. Mereka tidak tahu betapa Sin Liong mempergunakan gin-kang, berlari cepat seperti terbang, lalu berloncatan ke atas genteng rumah-rumah penduduk mendahului mereka jauh sebelum mereka tiba di jembatan itu.

"Nah, dimana adanya Pak-san-kui?" tanya Sin Liong ketika mereka tiba di depannya.

"Ada... ada..., mari silakan masuk..." kata Si Cambang Bauk kini sikapnya agak berbeda dan agak merendah karena dia kini mulai mengerti bahwa orang yang berjuluk Pendekar Lembah Naga ini ternyata bukan hanya bernama kosong belaka.


Demikianlah ciri dari orang yang sudah diperhamba oleh gambaran dirinya sendiri. Selalu bermuka-muka dan menjilat-jilat kalau bertemu dengan orang yang dianggapnya lebih berkuasa, lebih pandai dan lebih daripada gambaran dirinya sendiri, akan tetapi selalu bersikap congkak, sombong dan menekan kepada orang yang dianggapnya lebih rendah daripada dirinya sendiri. Seorang penjilat tentulah seorang penindas pula. Dapatkah kita hidup bebas dari sikap menjilat atasan dan penindas bawahan? Tentu dapat kalau kita tidak membangun gambaran diri sendiri sehingga kita bersikap wajar terhadap semua orang dari segala macam tingkat.

Dengan diantar oleh lima orang itu, mereka memasuki serambi depan, kemudian hanya Si Cambang Bauk saja yang mengantarnya masuk ke dalam pondok. Dari luar saja sudah terdengar suara orang-orang bercakap-cakap dan tertawa-tawa di dalam pondok itu. Begitu mereka berdua tiba di pintu yang menembus ke ruangan dalam, Si Cambang
Bauk berkata dengan nada suara penuh hormat,

"Lo-ya, Pendekar Lembah Naga sudah datang menghadap!"

Sin Liong yang sudah tiba di pintu itu memandang dengan penuh perhatian. Hatinya lega bukan main ketika dia melihat isterinya dan puteranya berada diantara beberapa orang yang duduk mengelilingi sebuah meja panjang bundar yang berada di tengah ruangan itu, meja yang penuh dengan hidangan yang masih mengepul panas.

Isterinya duduk dengan tenang dan wajahnya berseri ketika melihat dia, dan puteranya juga duduk dengan anteng, akan tetapi Han Tiong segera berkata ketika melihat dia.

"Ayah! Aku tahu ayah pasti datang menyusul kami!"

Sin Liong melihat seorang kakek berusia kurang lebih enam puluh tahun, berwajah tampan dan bertubuh jangkung, pakaiannya seperti seorang hartawan, memegang sebatang huncwe yang tidak mengepulkan asap, sikapnya ramah, kuncirnya tebal dan panjang, kepalanya memakai topi terhias sulaman bunga emas, memandang kepadanya sambil tersenyum lebar.

Orang yang duduk di sebelah kiri kakek hartawan ini jelas seorang pembesar, dapat dikenal dari pakaiannya, dan dia sudah berusia lima puluhan tahun dengan sepasang mata yang cerdik, mata seorang pembesar yang mudah menjadi berbeda sinarnya kalau melihat tumpukan uang banyak, dan pembesar ini agaknya kelihatan tegang, sebentar memandang ke arah tamu yang baru datang, sebentar kemudian ke arah si hartawan itu.

Selain dua orang ini dan Bi Cu serta Han Tiong, nampak pula duduk disitu tiga orang pria yang usianya kurang lebih empat puluh tahun, berpakaian seperti jago-jago silat dan sikap mereka amat hormat dan pendiam, sesuai dengan sikap orang-orang yang memiliki kepandaian silat tinggi. Belasan orang pengawal si pembesar dan pengawal si hartawan, hal ini dapat dilihat dari pakaian mereka, berdiri di sekitar tempat itu melakukan penjagaan. Mendengar seruan Han Tiong yang kegirangan melihat munculnya ayahnya, si hartawan itu tertawa.

"Ha-ha-ha, anaknya gagah berani dan ternyata ayahnya juga tidak mengecewakan. Cia-sicu, telah lama aku mendengar nama besarmu, sekarang gembira sekali dapat bertemu. Silakan duduk..."

Dia menunjuk ke arah bangku di dekat Bi Cu yang memang agaknya sudah dipersiapkan dan Sin Liong lalu memasuki ruangan itu dengan sikap tenang, kemudian diapun duduk di atas bangku yang telah dipersiapkan untuknya itu.

Sejenak dia bertukar pandang dengan isterinya dan dari sinar mata isterinya dia tahu bahwa tidak terjadi sesuatu dengan anak isterinya, hanya isterinya minta kepadanya agar berhati-hati, maka legalah hatinya. Tanpa kata-katapun, hanya dengan saling bertukar pandang, dia sudah dapat mengetahui isi hati isterinya yang tercinta.

"Apakah wan-gwe (tuan kaya) yang mengundangku ke sini?" tanya Sin Liong sambil mengeluarkan sampul itu, meletakkannya di atas meja di hadapannya.

Melihat sikap pendekar yang begitu tenang, sama sekali tidak memberi hormat kepadanya dan kepada si pembesar, dan mendengar pendekar itu menyebutnya wan-gwe, kakek hartawan itu tertawa bergelak dan suara ketawanya bergema di dalam ruangan itu, dan ruangan itu seolah-olah tergetar hebat.

Diam-diam Sin Liong terkejut dan kagum. Ternyata kakek ini memiliki khi-kang yang kuat sekali! Teringatlah dia akan penuturan ayahnya bahwa para datuk itu memiliki kepandaian yang tinggi, kabarnya tidak kalah tinggi dibandingkan kepandaian Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li! Maka dia bersikap hati-hati dan diapun mengerti Mengapa isterinya menghendaki dia berhati-hati. Tentu isterinya juga melihat betapa lihainya kakek itu dan betapa bahaya mengancam di tempat itu.

"Ha-ha-ha, sungguh sikapmu gagah sekali, Cia-sicu. Benar, akulah yang mengundangmu ke sini. Aku disebut orang Pak-san-kui dan daerah utara adalah wilayahku. Telah lama aku mendengar namamu yang besar, akan tetapi karena engkau telah menjadi orang kesayangan istana, dan engkau bahkan dihadiahi Istana Lembah Naga sehingga engkau tinggal di luar Tembok Besar, maka jelas bahwa Lembah Naga bukan termasuk wilayahku. Sayang aku tidak sempat datang berkunjung ke Lembah Naga, sungguhpun diantara kita terdapat hubungan yang cukup dekat sekali."

Sin Liong memandang heran dan dengan penuh selidik dia menatap wajah yang tampan itu, lalu dia berkata,

"Apa yang locianpwe maksudkan?"

Wajah tua yang masih tampan itu kelihatan berseri gembira. Agaknya dia senang sekali mendengar pendekar itu mengganti sebutan, tidak lagi wan-gwe melainkan locianpwe (sebutan untuk golongan tua yang gagah perkasa), karena sebutan itu menandakan bahwa Sin Liong mengakui dia sebagai seorang tokoh tinggi dalam persilatan! Dia tidak tahu bahwa sebutan yang dipergunakan oleh Sin Liong itu bukanlah penjilatan, melainkan karena memang sudah menjadi watak Sin Liong untuk bersikap rendah hati.

"Ingatkah sicu kepada mendiang Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li?" Ketika dia melihat wajah Sin Liong berubah mendengar nama itu, dia tertawa. "Ya, Hek-hiat Mo-li telah tewas di tangan sicu yang gagah perkasa dan memang salahnya sendiri, dia diperalat oleh pemberontak. Ketahuilah bahwa Hek-hiat Mo-li itu masih terhitung bibi guru luar dariku, sungguhpun diantara kami tidak pernah ada hubungah apa pun. Maka, tentu saja sejak lama aku merasa kagum kepadamu, Cia-sicu dan ingin sekali aku tahu dan mengenalmu, terutama mengenal kepandaianmu. Sayang bahwa engkau tinggal di Lembah Naga, di luar wilayahku. Kemudian dari teman-temanku aku mendengar bahwa sicu turun gunung, keluar dari Lembah Naga mengunjungi Cin-ling-pai. Ha-ha! Mendengar kesempatan baik muncul itu, tentu saja aku mengutus orang-orangku untuk membayangimu dan setelah tiba disini, karena kebetulan sekali akupun sedang berada di Lok-yang, maka aku sengaja mengundang sicu untuk bertemu."

Pendekar Sadis







Tidak ada komentar: