*

*

Ads

Sabtu, 29 April 2017

Pendekar Sadis Jilid 019

Marilah kita kembali mengikuti perjalanan keluarga penghuni Istana Lembah Naga itu. Setelah diceritakan di bagian depan, dengan gembira sekali Cia Sin Liong mengajak isteri dan puteranya meninggalkan istana tua itu untuk memulai dengan perantauan mereka.

Bukan hanya Han Tiong yang bergembira, akan tetapi juga Sin Liong dan Bi Cu yang sudah lama sekali, bertahun-tahun sudah, selalu berada di Istana Lembah Naga dan sekarang ini hendak melakukan perjalanan yang lama dan jauh, merasa gembira bukan main. Keduanya memang merupakan pendekar-pendekar petualang yang suka merantau, maka kini mereka dapat pergi bertiga, tentu saja hal itu merupakan peristiwa yang amat menggembirakan.

Atas kehendak Sin Liong dan isterinya, mereka bertiga turun gunung dengan berjalan kaki saja, tidak menunggang kuda. Hal ini selain untuk melatih Han Tiong, juga melakukan perjalanan dengan jalan kaki lebih mengasyikkan, lebih memudahkan mereka untuk menikmati keindahan alam di sepanjang perjalanan, juga mereka hanya membawa bekal sedikit saja, pakaian sekedarnya dan uang untuk biaya dalam perjalanan.

Ketika mereka menuruni bukit dan keluar dari dalam sebuah hutan, mereka itu tiada ubahnya sebuah keluarga petani saja. Pakaian mereka amat sederhana, namun dari sikap mereka, dengan cara mereka melangkahkan kaki saja orang sudah dapat menduga, bahwa mereka itu bukanlah keluarga petani "biasa" karena langkah-langkah mereka selain tegap juga cepat sekali.

Cia Sin Liong adalah seorang pendekar besar di jaman itu, dan namanya sebagai Pendekar Lembah Naga amat terkenal sampai di seluruh dunia kang-ouw. Akan tetapi karena semenjak menikah dan tinggal di Lembah Naga dia tidak pernah mencampuri urusan dunia kang-ouw, hanya namanya sajalah yang amat terkenal, akan tetapi orangnya jarang ada yang pernah berjumpa. Maka, kalau ada yang melihat keluarga itu melakukan perjalanan sederhana dengan gembira itu, tentu tidak akan ada yang menyangka bahwa itulah keluarga Pendekar Lembah Naga yang amat terkenal kesaktiannya itu!

Akan tetapi justeru keadaan mereka seperti petani sederhana itulah agaknya yang membuat perjalanan itu dapat dilakukan tanpa banyak menarik perhatian sehingga mereka dapat melakukan perjalanan dengan aman! Karena kalau orang mengenalnya sebagai Pendekar Lembah Naga, tentu akan banyak yang menaruh perhatian.

Setelah melakukan perjalanan selama hampir tiga bulan, perjalanan seenaknya dan kadang-kadang berhenti di tempat-tempat indah, sampailah mereka di Pegunungan Cin-ling-san!

Pegunungan Cin-ling-san ini sebetulnya hanya merupakan satu di antara banyak gunung-gunung yang indah sehingga merupakan pegunungan biasa saja. Akan tetapi nama pegunungan ini amat dikenal orang karena adanya perkumpulan Cin-ling-pai di puncak pegunungan itu.

Cin-ling-pai amat terkenal, sudah puluhan tahun terkenal sebagai tempat keluarga Cin-ling-pai yang sakti. Pada waktu itu, yang tinggal di puncak Cin-ling-san, di perumahan Cin-ling-pai yang merupakan sebuah pedusunan dikurung pagar tembok tinggi, adalah pendekar sakti Cia Bun Houw bersama isterinya yang juga merupakan seorang pendekar wanita yang berilmu tinggi bernama Yap In Hong.

Pada waktu itu Cia Bun Houw merupakan seorang kakek setengah tua yang berusia lima puluh dua tahun, namun masih nampak tegap dan tampan seperti orang berusia empat puluh tahun saja, tidak seperti biasanya pria umur sekian kalau tidak perutnya menggendut terlalu banyak makan gajih dan daging tentu menjadi kurus kering karena terlalu banyak pikiran!






Isterinya, Yap In Hong, juga masih nampak jelas bekasnya sebagai seorang wanita cantik, tubuhnya masih ramping dan padat kuat, sungguhpun rambutnya mulai terhias uban. Namun sepasang matanya masih tajam dan menggiriskan karena penuh wibawa dan kadang-kadang dapat menjadi dingin seperti ujung pedang tajam!

Seperti dapat kita baca dalam cerita Pendekar Lembah Naga, suami isteri pendekar sakti ini biarpun semenjak muda telah saling berkenalan dan saling jatuh cinta, namun baru setelah mereka berusia tiga puluh tahun lebih mereka hidup sebagai suami isteri dalam arti yang sesungguhnya.

Sebelum itu, selama kurang lebih belasan tahun mereka hidup sebagai kekasih karena perjodohan mereka tidak disetujui oleh keluarga Cin-ling-pai dan hal itu membuat mereka berdua menjauhkan dan menyembunyikan diri selama belasan tahun. Baru pada pertemuan-pertemuan terakhir, ayah pendekar itu, yaitu mendiang Kakek Cia Keng Hong, merestui perjodohan mereka sehingga dengan demikian, setelah dia berusia kurang lebih tiga puluh enam tahun barulah Yap In Hong melahirkan seorang putera!

Kini, putera mereka itu telah berusia empat belas tahun, seorang anak laki-laki yang tampan dan gagah bernama Cia Kong Liang. Cia Sin Liong adalah putera Cia Bun Houw yang terlahir dari seorang wanita bernama Liong Si Kwi (baca cerita
Dewi Maut dan Pendekar Lembah Naga), yang lahir di luar nikah akan tetapi yang akhirnya diakui juga oleh Cia Bun Houw, bahkan Yap In Hong juga dapat menerima kenyataan itu dan menganggap Sin Liong sebagai anak tirinya, menjadi kakak tiri dari Cia Kong Liang. Karena hubungan yang baik antara Sin Liong dengan ayah kandung dan ibu tirinya, maka kini Sin Liong mengajak isterinya dan puteranya untuk berkunjung ke Cin-ling-pai.

Setelah mereka bertiga tiba di lereng Cin-ling-san, Sin Liong dan isterinya merasa pangling dengan keadaan di situ. Ternyata keadaan Cin-ling-san kini cukup ramai, banyak dusun baru dibangun di sekitar lereng, dan dari bawah sudah nampak tembok putih di puncak, di mana Cin-ling-pai berada. Ternyata bahwa Cin-ling-pai yang tadinya boleh dibilang tidak terurus itu kini telah dibangun kembali oleh pendekar Cia Bun Houw bersama isterinya, bahkan mereka mempunyai banyak murid sehingga nama Cin-ling-pai sebagai perkumpulan silat yang besar menjadi terkenal kembali.

Begitu keluarga ini tiba di pintu gerbang, mereka telah disambut oleh beberapa orang pemuda yang bertubuh tegap-tegap dan nampak gagah, berpakaian rapi, pakaian murid-murid yang belajar ilmu silat. Sin Liong memandang ke arah papan nama yang cukup megah dan besar, dengan huruf-huruf CIN-LING-PAI yang ditulis dengan gaya gagah. Kemudian dia memandang kepada beberapa orang pemuda yang menyambutnya dengan sikap hormat dan ramah itu.

"Selamat datang di Cin-ling-pai," kata seorang diantara mereka, agaknya yang memimpin mereka yang bertugas jaga di pagi hari itu.

"Ada keperluan apakah saudara sekalian datang mengunjungi tempat kami?"

Pertanyaan itu singkat dan tegas, akan tetapi diucapkan dengan sikap hormat dan manis, disertai senyum ramah.

Melihat sikap mereka ini, Sin Liong merasa gembira dan juga bangga. Pantaslah Cin-ling-pai menjadi perkumpulan besar kalau melihat sikap para muridnya seperti ini!

"Kami ingin bertemu dengan ketua Cin-ling-pai," jawab Sin Liong dengan ramah pula.

Para murid Cin-ling-pai itu saling pandang, kemudian pemimpin para penjaga itu memandang penuh perhatian kepada Sin Liong, sambil berkata.

"Maaf, ketua kami tidak mudah diganggu karena beliau banyak pekerjaan, sebaiknya kalau kami laporkan dulu siapa adanya saudara dan dari mana...?"

Sin Liong tersenyum. Sikap mereka ini amat baik dan hormat, dan ucapan itu hanya suatu alasan belaka. Mereka ini bersikap hati-hati dan tentu saja menaruh curiga kepadanya yang belum mereka kenal. Maka Sin Liong tersenyum, lalu berkata.

"Baik sekali, harap kalian laporkan kepada ketua Cin-ling-pai bahwa kami datang dari jauh, dari luar Tembok Besar...”

“Kami datang dari Lembah Naga!" sambung Bi Cu yang merasa tidak sabar lagi melihat suaminya bersikap sungkan untuk memperkenalkan diri itu.

"Kami ingin bertemu dengan ketua Cin-ling-pai, dia itu adalah kong-kongku!" kata pula Han Tiong yang juga tidak sabar ingin lekas-lekas bertemu dengan kakeknya, yang didengarnya sebagai seorang pendekar sakti yang amat terkenal itu.

Mendengar ucapan Bi Cu dan Han Tiong, semua murid Cin-ling-pai terbelalak dan wajah mereka berubah pucat ketika mereka memandang kepada Sin Liong yang hanya tersenyum ramah itu.

"Ah,... apakah... taihiap ini Cia Sin Liong...?"

Melihat kegugupan orang, Sin Liong berkata,
"Benar, itulah namaku."

"Maaf... maaf... kami tidak mengenal... silakan masuk..." kata mereka dan beberapa orang diantara mereka sudah lari ke dalam untuk menyampaikan berita yang amat mengejutkan dan menggirangkan hati ini.

Semua murid memandang kepada Sin Liong dengan sinar mata penuh kagum. Sudah lama mereka mendengar nama besar Sin Liong, putera ketua mereka yang kabarnya memiliki kepandaian yang bahkan lebih tinggi atau setidaknya tidak kalah oleh tingkat kepandaian ketua mereka dan yang merupakan seorang pendekar yang menjadi penghuni Istana Lembah Naga.

Tak pernah disangkanya bahwa pendekar sakti itu ternyata hanya seorang pria, yang biarpun gagah, akan tetapi berpakaian sederhana dan juga bersikap amat sederhana pula. Hal ini menambah kekaguman mereka karena memang semua murid Cin-ling-pai bersikap sederhana, sesuai dengan pengertian mereka tentang hidup sederhana seperti diajarkan oleh ketua mereka.

Ketika para murid Cin-ling-pai yang sedang berada di sebelah dalam, yang berlatih silat, yang melakukan pekerjaan masing-masing, mendengar bahwa Pendekar Lembah Naga bersama isteri dan puteranya datang berkunjung, berbondong-bondong mereka berlari keluar untuk menyambut dan melihat.

Cia Bun Houw yang telah menerima pelaporan para murid Cin-ling-pai, segera keluar bersama Yap In Hong, dan putera mereka Cia Kong Liang yang telah berusia empat belas tahun. Semua murid Cin-ling-pai membuka jalan dan berdiri di pinggiran dengan sikap hormat ketika ketua Cin-ling-pai dengan anak isterinya ini keluar menyambut.

Sejenak mereka semua saling berpandangan. Sin Liong merasa terharu melihat ayahnya yang biarpun masih nampak gagah, namun di atas kedua telinganya sudah nampak rambut putihnya. Ibu tirinya masih nampak cantik dan gagah, sedangkan adik tirinya, seorang pemuda berusia empat belas tahun, membuat dia kagum karena Cia Kong Liang memang seorang pemuda yang tampan dan gagah, memiliki sinar mata yang terang dan lembut.

"Ayah...!" Sin Liong lalu menjatuhkan diri berlutut, diikuti oleh Bi Cu dan Han Tiong.

Mereka bertiga berlutut di depan kaki Cia Bun Houw, kemudian menghormat kepada Yap In Hong pula.

"Engkau tentu adikku Kong Liang! Ah, engkau sudah besar, tegap dan gagah!" kata Sin Liong ketika Kong Liang memberi hormat kepadanya.

"Inikah putera kalian?" Yap In Hong berkata ketika Han Tiong memberi hormat kepadanya.

"Ha-ha, ini tentu putera kalian Cia Han Tiong, bukan? Bagus, bagus... sudah besar dan sehat pula!" kata ketua Cin-ling-pai sambil tertawa lebar dan dia nampak gembira sekali dengan kunjungan puteranya ini.

Sambil tersenyum gembira dan bercakap-cakap, mereka lalu memasuki rumah induk yang menjadi tempat tinggal ketua Cin-ling-pai itu, diikuti pandang mata penuh kagum dari para murid Cin-ling-pai.

Ketika Cia Bun Houw mendengar penuturan puteranya bahwa puteranya itu hendak menyerahkan Han Tiong kepada Lie Seng yang kini telah menjadi Hong San Hwesio untuk dididik budi pekerti, dia mengangguk-angguk.

"Memang tepat sekali, dan aku girang sekali mendengar itu. Aku pun sudah mendengar bahwa keponakanku itu kini telah menjadi ketua Kuil Thian-to-tang di sebelah selatan kota raja dan hidup sebagai seorang hwesio yang saleh. Aah, memang benar engkau, Sin Liong. Berbahaya sekali kalau memiliki kepandaian silat tinggi tanpa disertai kepandaian yang lebih mendalam, yaitu keluhuran batin, karena ilmu yang dimiliki orang yang batinnya dangkal bahkan hanya akan mendatangkan kerusakan saja kepada manusia. Sayang aku sendiri tidak dapat membantumu. Dalam hal ilmu silat, tentu engkau sendiri sudah lebih dari cukup untuk mendidik puteramu, sedangkan dalam hal ilmu kebatinan, memang keponakanku Hong San Hwesio itu boleh dijadikan guru untuk cucuku ini. Aaah, aku girang sekali, karena keadaan sekarang ini sungguh amat menggelisahkan, dengan munculnya banyak orang pandai yang memasuki golongan hitam."

"Benarkah itu, Ayah? Saya sudah terlalu lama bersembunyi saja, tidak lagi mendengar bagaimana keadaan dunia kang-ouw."

Ayahnya menarik napas panjang.
"Aku sendiripun tidak pernah mau mencampuri urusan luar. Bahkan semua anak murid Cin-ling-pai kutekankan dengan keras agar jangan mencampuri urusan luar, jangan menanam bibit permusuhan, sungguhpun hal itu bukan berarti bahwa kita harus diam saja menyaksikan orang-orang lemah dan benar tertindas oleh si kuat yang jahat. Syukurlah bahwa sampai sekian lamanya, fihak kami belum pernah bentrok dengan mereka. Akan tetapi, mendengar betapa mereka itu semakin diperkuat oleh tokoh-tokoh dari empat penjuru dunia, sungguh membuat aku merasa khawatir sekali."

Pendekar Sadis







Tidak ada komentar: