*

*

Ads

Sabtu, 29 April 2017

Pendekar Sadis Jilid 016

Biarpun cuaca remang-remang, namun Kui Lin dapat melihat betapa suaminya yang telanjang bulat itu diserang dengan gencar oleh encinya yang juga bertelanjang bulat!

“Apa... apa yang terjadi...?” tanyanya dengan suara gemetar. “Enci Lan... apa yang telah terjadi...?” Dia bertanya sambil memandang mereka berganti-ganti, seolah-olah tidak percaya akan apa yang dilihatnya dan diduganya.

Tiba-tiba Kui Lan menangis, mengguguk menutupi mukanya.
“Hu-huu-huuuhh... dia... dia membiusku dan... dan... menodaiku... hu-hu-huuuhh...”

Pengakuan ini seperti sebatang pedang yang menusuk jantung Kui Lin. Wajahnya menjadi semakin pucat dan matanya terbelalak memandang ke arah suaminya.

“Kau... kau... jahanam busuk...!”

Dan Kui Lin sudah menerjang ke depan, menusukkan pedangnya ke arah dada suaminya!

“Eeiiiiitt... sabar dulu, Lin-moi...!”

Tiong Pek mengelak dan dengan gugup menyabarkan isterinya. Akan tetapi alasan apa yang dapat dikemukakannya? Dia tertangkap basah dan tidak mungkin lagi dia mengatakan salah lihat!

“Sabar? Manusia berhati binatang, engkau telah merusak segala-galanya, engkau layak mampus!”

Dan Kui Lin kembali menerjang dengan pedangnya. Na Tiong Pek menyambar bangku dan menangkis, lalu terpaksa balas menyerang. Melihat betapa pria yang telah menodainya itu malah berani menyerang Kui Lin, kemarahan Kui Lan memuncak dan dia pun menyambar pedang yang digantungkannya di dalam kamar itu. Dia memang masih membawa pedang kalau datang bertamu karena dia suka berlatih pedang dengan adik kembarnya. Kini tanpa kata-kata lagi dia pun membantu adiknya menyerang Na Tiong Pek!

Tentu saja Tiong Pek menjadi bingung sekali dan karena bujukan-bujukannya dan permohonan ampunnya tidak berhasil, diapun lalu melawan sekuat tenaga. Akan tetapi dengan kecepatan kilat, ujung pedang Kui Lan berhasil menusuk lengannya, membuat bangku itu terlepas dari pegangannya dan saat itu, pedang Kui Lin menyambar dan menusuk memasuki perutnya!

“Aduhhh...!”

Tiong Pek terhuyung dan hendak lari ke pintu, akan tetapi pedang di tangan Kui Lan menyambar dan menusuk dada menembus jantung! Dia roboh terkapar dan darah bercucuran dari perut dan dadanya. Melihat ini, dua orang wanita itu saling memandang dan terbelalak. Kemudian Kui Lan melepaskan pedangnya dan berbisik,

“Ya Tuhan... kita... kita telah membunuhnya...”






Kui Lin bersikap tenang. Dia melemparkan pedangnya dan berkata.
“Dia sudah layak mampus! Enci Lan, cepat berpakaian!” katanya.

Baru teringat oleh Kui Lan bahwa dia masih telanjang bulat, maka sambil terisak dia lalu mengenakan pakaiannya, sedangkan Kui Lin dengan air mata bercucuran juga mulai mengenakan pakaian suaminya pada mayat suaminya yang mandi darah.

Setelah selesai, kembali mereka saling pandang dan melihat wajah masing-masing yang pucat dan basah, keduanya lalu saling tubruk dan saling rangkul sambil menangis sesenggukan dengan hati hancur luluh.

Tiba-tiba Kui Lan merenggutkan rangkulannya dan melangkah mundur, memandang adiknya dengan mata terbelalak, kemudian berkata dengan bisikan parau,

“Aku layak mati...”

Dia mengambil pedangnya yang berada di atas lantai dan menggunakan pedang itu untuk menggorok leher sendiri!

“Enci Lan...!” Kui Lin dengan cepat sekali sudah menubruk, merampas pedang dan membuang pedang itu ke atas pembaringan. “Apa yang akan kau lakukan ini?” bentaknya.

Kui Lan menangis.
“Untuk apa aku hidup lagi...? Aku sudah ternoda... dan aku telah membunuh suamimu... aku telah menghancurkan kebahagiaanmu... aku layak mati, jangan kau halangi aku...”

Kui Lan meronta, akan tetapi Kui Lin memeluknya dengan ketat sambil menangis, tidak membiarkan encinya melepaskan diri.

“Enci Lan, jangan... jangan kau lakukan itu...”

“Apa gunanya aku hidup? Dia... dia membiusku dengan asap harum... dan dalam keadaan tidak sadar dia... dia menodaiku... Adikku, apa gunanya lagi aku hidup dan bagaimana aku dapat menghadapi suamiku?”

“Enci Lan, apakah hanya dirimu sendiri saja yang kau pikirkan?” Tiba-tiba Kui Lin melepaskan rangkulannya. “Engkau hendak membunuh diri sekarang setelah apa yang telah terjadi? Enak saja engkau, mau melarikan diri dan kemudian membiarkan aku hidup sendiri menanggung semua aib ini di pundakku? Dia akan mati dalam caci-maki orang, dikatakan manusia jahanam, dan engkau akan mati dalam keadaan terhormat, sebagai isteri yang setia dan baik, dan aku? Aku akan hidup menjadi cemoohan kanan kiri? Enci Lan, sekejam itukah hatimu kepadaku? Apa kau kira hatiku tidak hancur lebur dengan terjadinya peristiwa ini? Dan aku pula yang telah kehilangan suami, kehilangan rumah tangga, kehilangan kebahagiaan? Engkau mau lari meninggalkan aku hidup menderita seorang diri? Nah, kalau memang engkau sekejam itu, lakukanlah niatmu, biar aku yang... hidup... merana dan menanggung semua aib...!”

Kui Lin menangis tersedu-sedu dan Kui Lan berdiri dengan muka pucat memandang adiknya. Baru dia sadar bahwa penderitaan batin adiknya itu sebenarnya jauh lebih hebat daripada dia!

“Lin-moi...!” Dia menubruk dan keduanya sudah saling merangkul dan bertangisan lagi.

Sementara itu, di luar kamar mulai terdengar ribut-ribut karena para pelayan sudah terbangun mendengar suara ribut-ribut itu. Mendengar ini, Kui Lin lalu merangkul kakaknya dengan erat sambil berbisik,

“Enci, apa pun yang terjadi sekarang, kita hadapi berdua, hidup atau mati. Setuju?”

Kui Lan mengangguk pasrah.
“Kalau begitu, serahkan segala-galanya kepadaku,” bisik Kui Lin lagi dan dia pun membuka daun pintu dan masih dalam keadaan menangis. Juga Kui Lan hanya bisa menangis di belakang Kui Lin.

Ketika para pelayan melihat keadaan dalam kamar itu yang awut-awutan seperti bekas dipakai berkelahi, dan melihat majikan mereka menggeletak di atas lantai mandi darah, mereka terkejut sekali. Para pelayan wanita menjerit dan menangis.

Sambil terisak Kui Lin lalu menceritakan kepada mereka bahwa semalam rumah mereka didatangi penjahat. Penjahat itu hendak mencuri dan memasuki kamar dimana Kui Lan tidur. Kui Lan terbangun dan melawan penjahat sambil berteriak-teriak. Dia dan suaminya terbangun dan membantu Kui Lan.

“Akan tetapi penjahat itu lihai sekali, suamiku roboh dan tewas sedangkan kami berdua tidak mampu nmnangkapnya.”

Cerita nyonya majikan mereka itu tentu saja mereka percaya sepenuhnya dan seisi rumah lalu sibuk merawat jenazah itu dan pagi hari itu jenazah sudah dimasukkan ke dalam peti dan semua orang bersembahyang dan berkabung.

Peti jenazah itu tidak akan dikubur sebelum Ciu Khai Sun pulang dan menanti pulangnya suaminya ini, jantung Kui Lan berdebar penuh ketegangan, kekhawatiran dan kedukaan. Hanya karena adanya Kui Lin saja maka wanita ini tidak mengambil keputusan nekat. Rasanya dia tidak sanggup untuk menemui suaminya lagi, akan tetapi Kui Lin menghiburnya, bahkan menyatakan bahwa kalau encinya tidak sanggup menceritakan kepada suaminya, dialah yang akan menghadapi suami encinya itu. Betapapun juga, nyonya muda ini merasa hatinya hancur dan dia selalu merasa ketakutan, merasa seolah-olah dirinya kotor dan tidak berharga untuk suaminya.

Dia telah ternoda, tercemar dan kotor! Bukan itu saja, dia malah telah membunuh suami adiknya, dia telah menghancurkan kehidupan adik kembarnya! Hal ini lebih menyakitkan hatinya lagi dan nyonya ini selalu mencucurkan air mata, seolah-olah tidak akan ada habisnya sumber air matanya.

Memang demikianlah kehidupan manusia di dunia ini. Seperti berputarnya bumi, seperti beredarnya matahari, sebentar terang sebentar gelap. Hidup ini nampaknya seolah-olah begitu penuh dengan penderitaan, kekecewaan, penyesalan, kesengsaraan yang tumpang-tindih. Ada kadang-kadang datang suka ria, akan tetapi hanya seperti selingan kilat di waktu hujan gelap saja. Manusia hidup seakan-akan dibayangi oleh duka nestapa selamanya.

Semua hal yang dikejar-kejarnya mati-matian, dengan pengorbanan macam-macam, bahkan yang kadang-kadang dalam pengejaran itu tidak sungkan-sungkan untuk memperebutkan dengan orang lain, kalau perlu menjatuhkan orang lain, mencelakainya, bahkan membunuhnya, setelah terdapat ternyata tidaklah mendatangkan kebahagiaan seperti yang diharapkan atau dibayangkannya semula!

Si miskin membayangkan bahwa kalau dia memiliki harta banyak, hidupnya akan menjadi bahagia. Namun si kaya tidak lagi merasakan kebahagiaan lewat hartanya! Rakyat kecil membayangkan bahwa kalau dia memiliki kedudukan tinggi, hidupnya akan menjadi bahagia. Namun para pembesar tidak lagi merasakan kebahagiaan lewat kedudukannya, bahkan sebaliknya, kebanyakan dari mereka menderita banyak kepusingan karena kedudukannya yang tinggi!

Si orang awam ingin terkenal, akan tetapi mereka yang terkenal merasa terganggu hidupnya oleh ketenarannya! Demikianlah, manusia akan selalu sengsara dan tidak bahagia hidupnya selama dia diburu oleh keinginan untuk memperoleh sesuatu yang belum dimilikinya.

Dan keinginan ini akan terus mengejarnya sampai liang kubur sekalipun, tak pernah terpuaskan karena keinginan itu merupakan penyakit yang akan terus mendorongnya mengejar sesuatu yang baru lagi. Kita selalu menginginkan yang baru, karena yang baru itu menarik dan kita anggap amat menyenangkan. Kita lupa sama sekali bahwa yang baru ini akan menjadi lapuk dan kita akan terus mencari yang lebih baru lagi!

Menuruti keinginan takkan ada habisnya, dan tidaklah mungkin bagi kita untuk memiliki segala-galanya di alam mayapada ini. Hanya dia yang sudah tidak menginginkan apa-apa lagilah maka segala-galanya ini adalah untuknya! Atau dengan lain kata-kata, hanya orang yang sudah tidak menginginkan apa-apa lagilah maka dia itu benar-benar seorang kaya raya lahir batin!

Tidak menginginkan apa-apa ini dalam arti kata tidak mengejar sesuatu yang tidak ada padanya, tidak menghendaki sesuatu yang tak terjangkau olehnya. Bukan berarti menolak segala sesuatu, bukan berarti acuh tak acuh, bukan berarti mandeg dan menjadi seperti patung hidup.

Tiga hari kemudian, datanglah rombongan piauwsu yang dipimpin oleh Ciu Khai Sun dari perjalanan mengawal barang berharga. Tentu saja berita tentang kematian Na Tiong Pek datang bagaikan sambaran petir di siang hari bagi Ciu Khai Sun. Ketika pengawal piauwkiok menyambutnya di pintu gerbang kota dan menyampaikan berita bahwa Na Tiong Pek telah tewas oleh penjahat yang menyerbu rumahnya tiga hari yang lalu, Ciu Khai Sun terbelalak, wajahnya pucat dan tanpa banyak cakap lagi dia lalu mendahului rombongan, lari ke rumah Na Tiong Pek.

Ketika dia tiba di ruangan depan, melihat peti mati terbujur di situ, dan dia disambut oleh ratap tangis, kemudian melihat isterinya lari terhuyung menghampiri dan menjatuhkan diri berlutut, merangkul kedua kakinya sambil menangis, melihat pula adik isterinya menangis di belakang isterinya, pendekar ini berdiri dengan muka pucat dan sampai lama dia tidak dapat mengatakan sesuatu. Dia mengepal kedua tinjunya dan akhirnya dia berkata.

"Siapa yang melakukan itu? Siapa...? Aku akan mencari pembunuhnya... hemm, aku akan mencari pembunuhnya sampai dapat!"

Melihat sikap suaminya ini, Kui Lan menangis tersedu-sedu. Barulah pendekar itu merasa heran dan dia lalu membungkuk, memegang kedua pundak isterinya dan menariknya berdiri. Akan tetapi sungguh aneh, Kui Lan meronta halus melepaskan diri dan menutupi muka dengan kedua tangan sambil menangis sesenggukan.

"Ada... ada apakah...?" Pendekar itu mulai merasakan adanya sesuatu yang luar biasa pada diri isterinya.

Tentu saja isterinya ikut pula berduka dengan tewasnya suami adiknya terbunuh orang itu, akan tetapi mengapa isterinya kelihatan begini sengsara? Kui Lin yang tidak ingin urusan itu sampai terdengar orang lain, dan hal ini mungkin akan menimbulkan kecurigaan orang lain kalau sampai Kui Lan tidak mampu mempertahankan perasaannya, segera maju merangkul kakak kembarnya dan berkatalah dia dengan halus kepada suami kakaknya.

"I-thio... sebaiknya kita bicara di dalam saja..."

Setelah berkata demikian, dengan setengah memaksa dia menarik tubuh kakaknya dan membawanya masuk ke dalam. Ciu Khai Sun lalu menghampiri peti mati dan bersembahyang dengan penuh khidmat, alisnya yang tebal hitam itu berkerut dan wajahnya yang gagah itu diliputi awan duka, namun sepasang matanya mengeluarkan cahaya kilat oleh kemarahannya terhadap si pembunuh yang belum diketahuinya siapa.

Pendekar Sadis







Tidak ada komentar: