*

*

Ads

Sabtu, 29 April 2017

Pendekar Sadis Jilid 013

Bangunan kuno yang sebenarnya amat indah itu dari luar nampak menyeramkan karena dikelilingi tumbuh-tumbuhan yang besar dan lebat. Bangunan itu dinamakan orang Istana Lembah Naga! Lembah ini terletak di kaki Pegunungan Khing-an-san, di dekat tikungan Sungai Luan-ho, termasuk daerah Mongol dan berada di luar Tembok Besar.

Dahulu sebelum lembah ini dibersihkan oleh pasukan kaisar, kemudian diserahkan sebagai hadiah kepada pendekar sakti Cia Sin Liong, tempat ini merupakan tempat yang ditakuti orang karena selain angker juga menjadi tempat tinggal keluarga mendiang Raja Sabutai yang terkenal kejam.

Akan tetapi semenjak pendekar Cia Sin Liong bersama isterinya yang dicintanya, yaitu Bhe Bi Cu, tinggal di istana itu, keadaannya berubah sama sekali. Lembah yang memang amat indah itu tidak ditakuti orang lagi, bahkan kini banyak orang berdatangan untuk tinggal di sekitar lembah, terbentuk dusun-dusun yang cukup makmur karena tanah di sekitar pegunungan itu memang cukup subur. Dan pendekar itu bersama isterinya dikenal sebagai orang-orang yang amat baik, bahkan yang melindungi para penghuni dusun itu.

Tidak mengherankan apabila keluarga ini dicinta dan dihormati, dan dusun di sekeliling lembah itu menjadi semakin ramai. Memang pemandangan di lembah itu amat mentakjubkan. Padang rumput luas di bawah kaki lembah yang dahulu dinamakan orang Padang Bangkai dan yang amat menyeramkan itu kini sebagian telah menjadi sawah ladang.

Tempat-tempat berbahaya yang mengandung lumpur yang dapat menyedot telah ditutup oleh pasukan kaisar ketika mereka mengadakan pembersihan di tempat ini sehingga kini padang maut itu tidak pernah lagi mengambil korban.

Istana itu sendiri sekarang terawat baik, mempunyai taman bunga dan tembok-temboknya juga tidak penuh lumut seperti dahulu sebelum menjadi tempat tinggal pendekar itu. Kini, ada saja penduduk dusun yang beberapa pekan sekali membantu pendekar ini untuk membersihkan bangunan yang kokoh kuat itu.

Sungguh kini suasananya jauh berbeda dibandingkan dengan dahulu ketika istana ini masih menjadi tempat tinggal sepasang kakek dan nenek iblis yang terkenal dengan nama Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li, dua orang guru dari mendiang Raja Sabutai.

Seperti telah diceritakan dalam kisah Pendekar Lembah Naga, untuk terakhir kalinya tempat ini menjadi benteng dimana terjadi keributan dan sarang pemberontakan yang dipimpin oleh Pangeran Ceng Han Houw yang dibantu oleh Hek-hiat Mo-li dan yang lain-lain. Setelah pemberontakan itu dapat dibasmi, dan istana itu diserahkan oleh kaisar kepada pendekar Cia Sin Liong yang berjasa menumpas pemberontakan, maka tempat itu sama sekali berubah keadaannya dan sampai sekarang menjadi tempat yang indah, yang banyak menarik datangnya para pelancong yang melewati Tembok Besar.

Bahkan karena dusun-dusun di sekitarnya semakin ramai dan di situ banyak menghasilkan rempah-rempah dan bahan-bahan obat, banyak pula berdatangan pedagang-pedagang dari sebelah dalam Tembok Besar untuk berdagang, membawa barang-barang keperluan para penduduk dari kota di sebelah selatan dan pulangnya mereka membawa rempah-rempah dan bahan-bahan obat.

Telah kurang lebih dua belas tahun pendekar Cia Sin Liong dan isterinya tinggal di Istana Lembah Naga itu dan di dunia kang-ouw, tempat inipun terkenal sebagai istana tempat tinggal Pendekar Lembah Naga, demikianlah orang-orang kang-ouw memberi julukan kepada Cia Sin Liong.

Dan dari pernikahannya dengan Bhe Bi Cu yang amat dicintanya, pendekar ini telah memperoleh seorang putera yang mereka beri nama Cia Han Tiong dan yang kini telah berusia sebelas tahun. Semenjak kecil, Han Tiong menerima cinta kasih yang berlimpah-limpah dari orang tuanya, bukan pemanjaan, melainkan cinta kasih, dan semenjak kecil dia tinggal di tempat yang selalu hening dan tenteram, diantara para penduduk dusun yang hidupnya sederhana, terbuka, jujur dan tenang. Maka tidaklah mengherankan apabila keadaan sekelilingnya ini membentuk watak yang tenang dan pendiam kepada diri anak itu. Cia Han Tiong yang mempunyai ayah yang tampan dan gagah, ibu yang cantik manis itu ternyata tidaklah memiliki wajah yang terlalu tampan.






Wajahnya biasa saja, wajah yang tidak terlalu menonjol seperti wajah anak-anak lain di dusun itu, tidak terlalu tampan sungguhpun tidak dapat dikatakan buruk. Hidungnya agak pesek, matanya sipit, akan tetapi wajah yang biasa ini amat menyenangkan karena gerak-geriknya yang lembut, mulutnya yang selalu membayangkan keramahan dan sepasang mata sipit itu memiliki sinar yang bening tajam, kalau dia bicara, suaranya tenang halus dan jelas, dan apabila dia memandang wajah orang lain, dalam pandangannya itu terdapat rasa suka dan terbuka. Karena itu, sejak kecil Han Tiong amat disuka oleh semua orang yang mengenalnya.

Sebagai putera seorang pendekar sakti, tentu saja semenjak kecil Han Tiong telah digembleng ilmu oleh ayahnya, juga ayah ibunya mengajarkan ilmu membaca dan menulis sedapat mereka karena mereka pun bukanlah ahli dalam ilmu ini.

Di samping berlatih silat setiap hari, Han Tiong suka pula bekerja di ladang, dia suka bercocok tanam, merawat tanaman, dia suka berjalan-jalan seorang diri menikmati pemandangan alam, di waktu pagi-pagi sekali atau waktu senja, dia merasa sangat dekat dengan alam, menyayang binatang dan sikapnya selalu riang, yang nampak pada seri wajahnya, sinar mata dan senyumnya, walaupun dia adalah seorang anak yang pendiam dan tidak bicara kalau tidak perlu sekali.

Bentuk tubuhnya juga sedang saja, sikapnya sederhana sungguhpun dia tahu bahwa ayahnya adalah seorang taihiap, seorang pendekar sakti yang disegani dan ditakuti lawan dan dihormat semua orang. Sikapnya yang sederhana ini justeru membuat semua orang merasa suka sekali kepadanya dan kemana pun Han Tiong berada, orang-orang akan menyambutnya dengan sangat hormat dan gembira.

Setelah Han Tiong berusia sebelas tahun, timbul kekhawatiran di dalam hati Sin Liong. Biarpun selama ini puteranya memperlihatkan sikap yang amat baik dan ternyata memiliki bakat besar dalam ilmu silat, namun dia tahu bahwa puteranya itu kurang memperoleh pendidikan dalam hal sastera dan kebatinan. Dia tidak sanggup untuk mengajarkan kedua hal itu lebih mendalam kepada puteranya. Dia tahu bahwa dia akan menurunkan ilmu-ilmu silat yang dahsyat kepada puteranya, akan tetapi dia tahu pula betapa besar bahayanya memiliki ilmu-ilmu silat dahsyat itu tanpa memiliki dasar watak yang kuat.

Betapa banyaknya orang-orang yang memiliki ilmu kepandaian silat tinggi lalu menyeleweng di dalam hidupnya, karena merasa memiliki sesuatu yang dapat diandalkan, memiliki kekuasaan atas orang lain dan karenanya lalu timbul penyelewengan dan sikap sewenang-wenang. Kalau dia membayangkan puteranya dapat menyeleweng seperti halnya kakak angkatnya, Ceng Han Houw misalnya, dia merasa lebih baik kalau puteranya itu tidak diwarisi ilmu-ilmu yang dahsyat itu. Akan tetapi kalau tidak diwariskan kepada puteranya, lalu untuk apa? Apakah hendak dibawanya sampai mati?

Kekhawatiran dalam hati Sin Liong itu memang bukan tanpa alasan. Di dalam pengalaman hidupnya, pendekar ini sudah melihat betapa banyaknya orang-orang dengan kepandaian tinggi lebih mudah melakukan penyelewengan dan kejahatan dalam kehidupan mereka dibandingkan dengan orang-orang bodoh seperti orang-orang dusun umpamanya.

Orang-orang yang tidak memiliki batin yang bersih amat mudah menyeleweng, apalagi orang-orang yang memiliki kepandaian silat, mereka mengisi hidupnya hanya dengan perkelahian, permusuhan dan dendam mendendam! Memang demikianlah, kemajuan ilmu pengetahuan bukannya mendatangkan berkah dalam kehidupan, bahkan sebaliknya mendatangkan malapetaka apabila tidak disertai dengan kemajuan di bidang batin.

Kemajuan ilmu pengetahuan memberi kekuasaan yang lebih besar kepada manusia, dan tanpa batin yang bersih maka kekuasaan itu akan dipergunakan oleh manusia untuk mementingkan diri sendiri, mengejar kesenangan dan dengan kekuasaannya itu manusia akan membasmi manusia lain yang menghalang di depan, yang mengganggu usahanya untuk meraih kesenangan pribadi itu.

Hal ini nampak dengan jelas dimana pun dalam dunia ini. Kemajuan ilmu haruslah disertai kemajuan batin, kalau tidak, maka kemajuan ilmu itu hanya akan mendatangkan bencana bagi manusia. Kekuasaan yang berada di dalam tangan manusia yang berbatin lemah hanya akan dipergunakan untuk mengumbar nafsu-nafsunya tanpa mempedulikan betapa untuk mencari kesenangan dia mempergunakan kekuasaan dari ilmu itu untuk mencelakakan orang lain.

"Lalu apakah yang dapat kita lakukan?" Bhe Bi Cu berkata kepada suaminya pada suatu malam setelah suaminya itu mengeluarkan isi hatinya. "Di tempat seperti ini, mana ada orang yang akan mampu memberi pendidikan batin kepada anak kita? Siapa yang dapat menolong kita...?"

"Aku ingat," tiba-tiba Sin Liong berkata, "ada satu orang yang mungkin akan tepat sekali menjadi pendidik untuk Hai Tiong, entah dia masih berada di sana atau tidak."

"Siapa dia?" Bi Cu bertanya penuh gairah.

"Dia adalah saudara misan sendiri, dia cucu luar dari mendiang Kakek Cia Keng Hong, ketua Cin-ling-pai."

"Siapa sih?"

"Dia Kanda Lie Seng yang kini telah menjadi hwesio. Kalau tidak salah, julukannya sekarang adalah Hong San Hwesio dan dia menjadi ketua Kuil Thian-to-tang di sebelah selatan kota raja."

"Ah, bagus sekali kalau begitu! Jadi, anak kita masih keponakannya sendiri."

"Memang sebaiknya kalau kita menyerahkan anak kita kepadanya untuk dididik selama beberapa tahun. Engkau tahu, aku belum berani mengajarkan ilmu-ilmu silat yang terlampau dahsyat kepada anak kita, sebelum dia memiliki dasar kebatinan yang kuat. Biarlah dia belajar di sana selama beberapa tahun, setelah dasarnya kuat, baru kita bawa dia pulang."

"Aku setuju, biarpun tidak enak harus berpisah dari anak tunggal kita," kata isterinya.

"Bagus! Kalau engkau setuju, itu baik sekali. Sekarang bersiaplah, dalam pekan ini juga kita berangkat ke selatan bersama Han Tiong. Dia pun perlu memperluas pengetahuan dan pengalamannya dengan perjalanan jauh, bukan hanya terpendam saja di tempat sunyi ini."

"Apakah kita langsung saja ke kuil Thian-to-tang?"

"Tidak, kesempatan ini kita pergunakan untuk mengunjungi keluarga. Sudah bertahun tahun kita seperti orang-orang bertapa saja di tempat ini, tidak pernah mengunjungi dunia ramai, tidak pernah mengunjungi keluarga. Maka sekali ini, sekalian membawa Han Tiong merantau dan meluaskan pengalamannya, kita lebih dulu mengunjungi Cin-ling-san, lalu menengok Lan-moi dan Lin-moi di Su-couw, setelah itu baru kita mengantarnya ke kuil Hong San Hwesio atau Lie Seng Koko."

Wajah yang manis itu berseri gembira membayangkan perjalanan itu. Memang harus diakuinya bahwa selama berada di Istana Lembah Naga, Bi Cu merasa bahagia sekali di samping suaminya yang amat dicintanya, apalagi setelah terlahir Han Tiong, dan juga hidup sederhana di tempat itu bersama sekumpulan penghuni dusun-dusun yang jujur dan bersahaja, amatlah menyenangkan.

Belum pernah dia mempunyai perasaan ingin mengunjungi tempat ramai di luar lembah. Akan tetapi begitu kini suaminya hendak mengajak dia dan putera mereka merantau, hatinya menjadi gembira bukan main dan nyonya muda ini segera berkemas dan dengan girang dia memberi tahu kabar gembira itu kepada Han Tiong yang menerima kabar itu dengan tenang-tenang saja, sungguhpun wajahnya menjadi berseri dan matanya bersinar-sinar.

"Sudah lama aku ingin sekali bertemu dengan kakek, ibu," katanya. "Benarkah kakek Cia Bun Houw adalah seorang pendekar yang tiada bandingannya di kolong langit? Dan bahwa Cin-ling-pai adalah perkumpulan yang paling besar di dunia?"

Pada saat itu, Sin Liong memasuki ruangan dan mendengar pertanyaan puteranya, maka dia lalu duduk dan menjawab,

"Kakekmu memang seorang pendekar sejati yang gagah perkasa, akan tetapi janganlah menganggap bahwa dia seorang pendekar yang tiada bandingannya di kolong langit. Gunung Thai-san yang menjulang tinggi menembus awan sekalipun tidak dapat dikatakan sebagai benda yang paling tinggi, karena ada langit di atasnya. Demikian pula Cin-ling-pai, memang merupakan perkumpulan silat yang amat baik dan terkenal, akan tetapi tidak perlu dikatakan paling besar di dunia. Ingatlah selalu bahwa memandang terlalu tinggi diri sendiri amatlah berbahaya, anakku. Hal itu akan mendatangkan watak besar kepala, sombong, dan memandang rendah pihak lain."

Anak itu mengangguk dan diam-diam, seperti biasa, dia mencatat semua kata-kata ayahnya itu di dalam hatinya dan dia melihat kebenaran dalam ucapan itu.

"Ayah dan ibu telah banyak bercerita tentang kakek dan nenek di Cin-ling-pai, akan tetapi kata ibu tadi kita akan pergi mengunjungi Bibi Lan dan Bibi Lin, juga mengunjungi Paman Lie Seng dimana aku akan disuruh belajar ilmu. Siapakah mereka itu, ayah?"

Memang selama ini Sin Liong hanya menceritakan keadaan Cin-ling-pai kepada puteranya, maka tidaklah mengherankan kalau Han Tiong kini bertanya tentang mereka itu. Maka dengan singkat dia lalu memperkenalkan nama-nama itu kepada puteranya.

"Bibimu Kui Lan dan Kui Lin adalah adik-adik tiri ayahmu satu ibu berlainan ayah. Mereka adalah dua orang wanita kembar yang kini sudah menikah dan bertempat tinggal di Su-couw. Telah belasan tahun aku tidak mendengar berita tentang mereka, maka sekali kita keluar dari lembah ini, aku ingin mengajak ibumu dan engkau pergi mengunjungi mereka pula di Su-couw. Sedangkan Pamanmu Lie Seng itu sekarang telah menjadi seorang hwesio berjuluk Hong San Hwesio, ketua Kuil Thian-to-tang di sebelah selatan kota raja. Diapun seorang pendekar yang berilmu tinggi di samping dia seorang pendeta yang suci, oleh karena itu engkau harus belajar darinya barang beberapa tahun, Han Tiong."

Menyebut nama adik-adik tirinya itu, diam-diam Sin Liong membayangkan keadaan mereka dan diam-diam timbul perasaan rindunya. Dia amat sayang kepada adik-adiknya itu dan dia tidak tahu bagaimana keadaan mereka sekarang. Apakah mereka telah mempunyai anak? Ah, sungguh lucu rasanya membayangkan adik-adiknya itu mempunyai anak-anak! Dan tentu saja di dalam hatinya, pendekar ini merasa girang sekali membayangkan betapa akan gembiranya perjumpaannya dengan Kui Lan dan Kui Lin nanti.

**** 013 ****
Pendekar Sadis







Tidak ada komentar: