*

*

Ads

Rabu, 26 April 2017

Pendekar Sadis Jilid 009

Tujuh orang itu adalah orang-orang yang berilmu tinggi, dan mereka adalah murid-murid dari Tok-ciang Sian-jin Ciu Hek Lam. Mereka telah melatih diri dalam barisan Jit-seng-twa-to-tin (Barisan Golok Besar Tujuh Bintang) dan dengan ilmu ini mereka sukar sekali dikalahkan lawan.

Akan tetapi, keampuhan mereka adalah mengepung lawan di sebelah dalam, tidak peduli lawan itu seorang ataupun lebih. Gerakan mereka yang teratur, saling bantu dan juga dapat mengadakan perubahan-perubahan yang tidak terduga-duga lawan membuat lawan yang terkepung menjadi sibuk dan bingung.

Akan tetapi, mereka belum pernah menghadapi dua orang lawan yang secara langsung monyerang atau menghadapi serangan mereka dari dalam dan luar kepungan! Dan lebih lagi, yang mereka kepung adalah Ceng Han Houw, seorang yang memiliki kepandaian silat yang amat tinggi sungguhpun tenaga sin-kangnya banyak berkurang setelah dia menderita sakit dan oleh karena itu kepandaiannya menurun lebih setengahnya.

Dan lebih lagi, karena di luar kepungan kini terdapat seorang wanita sakti yang mengamuk. Lie Ciauw Si adalah cucu dari ketua Cin-ling-pai, bahkan telah menerima ilmu-ilmu dari kakeknya yang sakti itu, maka tentu saja memiliki ilmu kepandaian yang jauh lebih tinggi daripada ilmu yang dimiliki oleh tujuh orang anggauta Jit-seng-twa-to-tin itu.

Maka kini tujuh orang yang mengurung itu malah terkurung! Mereka berusaha sedapat mungkin untuk mengatur barisan, akan tetapi menghadapi serangan-serangan dahsyat, dari dalam dan luar itu, terutama dari luar karena Ciauw Si sudah mengamuk melihat suaminya dikepung, tujuh orang itu sibuk sekali.

"Crokkk... aughhh...!"

Pedang Ciauw Si yang meluncur ganas itu menembus perisai baja dan terus menusuk leher pemegang perisai. Robohlah seorang pengeroyok dan tewas seketika. Melihat ini, terkejutlah enam orang yang lain, akan tetapi mereka menjadi semakin ganas sungguhpun gerakan mereka kini menjadi kacau-balau oleh perasaan tegang dan panik. Hal ini tentu saja lebih memudahkan Han Houw dan Ciauw Si untuk menggerakkan pedang mereka dan dalam waktu singkat saja enam orang itu telah roboh semua.

Ciauw Si merobohkan seorang diantara mereka tanpa menggunakan seluruh tenaga sehingga pedangnya hanya melukai pundak saja dan lawannya tidak terluka berat.
Setelah mereka semua roboh, Ciauw Si cepat menghampiri orang yang terluka itu, karena yang enam lainnya sudah tewas semua!

"Hayo cepat katakan yang sebenarnya, siapa yang menyuruh kalian kesini dan menyerang kami?" bentak Ciauw Si.

Akan tetapi orang itu tidak menjawab dan ketika Ciauw Si mengguncangnya dan hendak memaksanya, dia terkejut bukan main melihat orang itu telah kaku dan mati! Dari mulutnya mengalir busa kehijauan, maka tahulah dia bahwa orang yang roboh terluka itu ternyata telah tewas oleh racun yang amat ganas dan jahat. Dan dia tahu pula bahwa racun itu masuk ke jalan darah melalui sebatang jarum yang oleh orang itu sendiri ditusukkan ke lehernya. Ternyata orang yang terluka ini setelah melihat semua temannya tewas, lalu membunuh diri!

"Tidak perlu, mereka tadi sudah mengaku bahwa mereka diutus oleh Raja Agahai untuk menangkapku, hidup atau mati!" kata Han Houw yang tahu akan maksud isterinya.






"Apa? Pamanmu sendiri?" Ciauw Si terkejut bukan main dan Han Houw mengangguk.

"Lebih baik kita mengurus mayat-mayat ini lebih dulu!" katanya dan dia cepat memanggil para tetangga yang menjadi terkejut bukan main melihat mayat tujuh orang itu dan bangkai ular-ular berbisa berserakan di dalam rumah itu.

Ketika mendengar bahwa tujuh orang itu adalah perampok-perampok jahat, mereka pun merasa bersyukur bahwa suami isteri itu telah berhasil membasmi mereka dan beramai-ramai mereka lalu mengubur jenazah-jenazah itu.

"Sekarang aku menyesal karena ramalan mendiang Yok-sian ternyata benar," kata Han Houw setelah semua jenazah selesai dikubur.

"Maksudmu?" Ciauw Si bertanya.

"Mereka itu adalah utusan Paman Raja Agahai. Sekarang aku mengerti mengapa kaisar juga mengirim mata-mata menyelidiki ke sini. Ini semua tentulah perbuatan Raja Agahai. Jadi tepat dengan ramalan mendiang Yok-sian bahwa tidak boleh mengunjungi keluarga karena dari situ datangnya malapetaka."

"Tapi mengapa pamanmu melakukan hal ini? Ketika kita datang dulu itu, dia bersikap amat baik."

"Sikap palsu! Kini aku mengerti! Tentu dia merasa khawatir kalau-kalau aku akan merebut kekuasaan dari tangannya. Maka dia tentu mengirim berita kepada kaisar bahwa aku kini hidup disini sehingga kaisar yang mengkhawatirkan aku akan memberontak lagi lalu mengirim utusan. Tidak puas hanya dengan melaporkan kepada kaisar, Raja Agahai yang jahat itu lalu mengirim orang-orang Jeng-hwa-pang yang memang mendendam kepadaku untuk membunuhku."

"Ah, dan dia tentu tidak akan berhenti sampai disini saja!" kata Ciauw Si. "Demikian pula tentu akan ada lanjutan penyelidikan kaisar."

"Hemm, boleh jadi. Akan tetapi aku tidak takut dan akan kulawan mereka semua!" kata Han Houw dengan marah.

"Aku pun tidak takut, suamiku, dan aku selalu akan membantumu sampai akhir hayat. Akan tetapi kita harus mengingat Thian Sian..."

Diingatkan akan hal ini, Han Houw termangu-mangu dan memandang kepada putera mereka yang duduk disitu dan mendengarkan percakapan antara ayah bundanya itu dengan penuh perhatian.

"Aku pun tidak takut!" kata anak itu.

Ciauw Si tersenyum bangga dan merangkul puteranya.
"Engkau tidak takut, akan tetapi kami khawatir, Thian Sin."

"Dia harus pergi dulu dari tempat ini, menyingkir. Akan tetapi kemana...?"

Han Houw berkata dan suaranya terdengar penuh sesal karena baru sekarang dia melihat betapa mereka merupakan keluarga yang tidak mempunyai siapa-siapa lagi yang boleh diandalkan untuk menolong mereka. Mereka merupakan keluarga yang sudah terputus sama sekali hubungan mereka dengan keluarga kedua fihak, bahkan keluarganya sendiri kini memusuhinya.

"Ah, kenapa tidak ke tempat Seng-koko?" tiba-tiba Ciauw Si berkata dan wajah Han Houw berseri gembira. Dia menepuk kepala sendiri.

"Ah, mengapa aku begini bodoh dan pelupa? Tentu saja! Dialah satu-satunya manusia di dunia ini yang boleh kita percaya, bukan hanya untuk melindungi Thian Sin, bahkan juga untuk mendidiknya!"

"Bagus, aku pun setuju sekali kalau dia dikirim ke sana," kata Ciauw Si.

"Aku tidak mau pergi! Aku mau bersama ayah dan ibu!" Tiba-tiba Thian Sin berkata pula dengan lantang.

"Thian Sin, engkau tidak boleh membantah perintah ayah dan ibu! Kami tahu apa yang baik untukmu!" bentak Han Houw.

"Ayah dan ibu tidak takut mati menghadapi lawan, apakah aku harus lari dan takut mati?"

Thian Sin merengek. Ibunya sudah merangkulnya dan berkata dengan halus,
"Thian Sin, jangan berkeras. Kami mati pun tidak apa-apa asal engkau selamat. Kalau engkau berada disini dan mati pula bersama kami, habis bagaimana?"

"Siapa yang akan mati? Kita tidak akan mudah mati begitu saja!" Han Houw berkata keras. "Pendeknya, engkau harus mentaati perintah kami, Thian Sin. Kami akan menghadapi musuh-musuh yang banyak, kami tidak akan dapat leluasa melawan kalau harus melindungimu di sini."

Akhirnya Thian Sin tidak berani membantah pula dan Han Houw lalu memanggil seorang laki-laki berusia lima puluh tahun, tetangga mereka yang baik dan seorang petani yang bertubuh kuat.

Suami isteri ini menyerahkan semua harta yang ada pada mereka berupa sedikit perhiasan kepada kakek itu dan minta kepada kakek itu untuk mengantarkan Thian Sin ke Kuil Thian-to-tang di selatan kota raja, menemui Hong San Hwesio ketua kuil itu, menyerahkan surat dan Thian Sin kepada hwesio itu.

Sambil menangis Thian Sin berpamit dari ayah bundanya pada pagi hari itu juga dan meninggalkan tempat itu, diikuti pandang mata sayu oleh ayah bundanya.

Setelah anak itu pergi jauh dan tidak kelihatan lagi, barulah Ciauw Si yang sejak tadi sudah menahan-nahan hatinya itu merangkul suaminya sambil menangis.
Sejenak Han Houw membiarkan isterinya menangis, lalu mengelus rambutnya dan mengajaknya memasuki rumah dan duduk di ruangan dalam.

"Sudahlah, isteriku, tidak perlu kita bersedih, malah kita harus bersyukur bahwa anak kita terlepas dari ancaman bahaya."

"Suamiku, apakah tidak lebih bijak kalau kita juga melarikan diri mengambil lain jurusan dari yang diambil anak kita? Apa gunanya kita melawan pasukan, baik dari utara maupun dari selatan?"

Ceng Han Houw menegakkan kepalanya dan sinar matanya bernyala.
"Tidak!" Akan tetapi dia lalu menghampiri dan merangkul isterinya yang kelihatan pucat. "Dengar baik-baik, isteriku sayang, bukan sekali-kali aku menolak usulmu semata-mata karena keras kepala, sama sekali bukan. Akan tetapi engkau tahu bahwa aku adalah seorang pangeran, maka amat merendahkan martabatlah kalau aku melarikan diri, apalagi melarikan diri dari Raja Agahai yang berhati keji itu. Dan ke dua, dan ini merupakan kenyataan penting. Isteriku, apa gunanya bagiku untuk melarikan diri? Yang memusuhiku adalah Raja Agahai di utara dan kaisar di selatan, maka ke manakah aku dapat melarikan diri? Kemana pun aku lari, tentu akan dikejar dan akhirnya tertangkap juga. Betapa akan celakanya hidup menjadi buruan yang selalu dikejar-kejar, selalu hidup dalam keadaan ketakutan dan tidak tenang. Lebih baik aku menghadapi bahaya dengan mata terbuka di tempat terbuka ini."

Ciauw Si tidak berkata apa-apa, hanya merangkul suaminya dan perlahan-lahan air matanya membasahi baju di dada suaminya.

"Isteriku, engkau tidak seharusnya terancam bahaya bersamaku. Sudah terlalu banyak aku menyusahkan dirimu. Sudah terlalu banyak engkau menderita karenaku. Dan baik Raja Agahai maupun kaisar tidak memusuhimu. Oleh karena itu, engkau pergilah menyusul Thian Sin. Engkau tidak boleh membahayakan nyawamu demi membelaku."

"Tidak!" Tiba-tiba Ciauw Si berkata keras dan merenggutkan badannya dari rangkulan suaminya. "Aku adalah isterimu, mati hidup bersamamu! Bagaimana engkau dapat berkata demikian? Ah, apakah engkau masih ragu akan kesetiaanku?"

Han Houw cepat memeluknya.
"Jangan salah mengerti, isteriku. Sungguh mati, bukan aku meragukan kesetiaanmu, melainkan aku... aku tidak ingin melihat engkau tewas dalam membelaku. Aku... aku ingin agar engkau hidup terus... demi anak kita..."

Ciauw Si balas merangkul.
"Tidak! Aku harus berada di sampingmu, hidup atau mati! Tentang anak kita... disana sudah ada Seng-koko yang tentu akan melindunginya."

Han Houw mengenal kekerasan hati isterinya maka dia pun tidak mau membantah lagi. Dalam keadaan terancam, berduka terpisah dari Thian Sin, juga maklum bahwa nyawa mereka berada di ambang maut, mereka semakin merasa saling membutuhkan, dan ingin melindungi, menghibur.

Sampai matahari naik tinggi, mereka tidak mau saling berjauhan, bahkan tidak mau saling melepaskan seperti sepasang pengantin baru saja. Lewat tengah hari
terdengarlah derap kaki banyak kuda memasuki dusun itu.

Ceng Han Houw dan Lie Ciauw Si maklum bahwa saat yang mereka nanti-nantikan dengan hati gelisah telah tiba. Mereka sudah siap untuk itu dan dengan langkah-langkah tenang mereka berdua lalu keluar dari dalam pondok, masing-masing sudah siap mengenakan pakaian yang ringkas dengan pedang tergantung di pinggang.

Pasukan berkuda itu datang dari sebelah timur, memasuki pintu gerbang berbondong-bondong dan jumlah mereka tidak kurang dari seratus orang! Dari pakaian seragam yang rapi itu mudah dikenal bahwa mereka adalah pasukan Kerajaan Beng-tiauw, dipimpin oleh seorang perwira berusia kurang lebih lima puluh tahun, akan tetapi di samping perwira ini terdapat dua orang kakek.

Pendekar Sadis







Tidak ada komentar: