*

*

Ads

Rabu, 26 April 2017

Pendekar Sadis Jilid 005

"Lie Seng...?" Ceng Han Houw terkejut bukan main dan memandang dengan mata terbelalak keheranan. "Pendekar Cin-ling-pai itu...?"

"Omitohud... bukan pendekar melainkan seorang hwesio yang mengemis sedekah," kata Hong San Hwesio sambil menjura.

Tiba-tiba Ceng Han Houw tertawa bergelak, suara ketawa yang bebas dan wajar saking gelinya.

"Ha-ha-ha-ha, betapa dunia ini telah berubah banyak! Pendekar Cin-ling-pai Lie Seng yang gagah perkasa kini telah menjadi seorang hwesio peminta-minta sedekah! Dan aku, seorang pangeran, lihat, kini menjadi petani miskin sederhana. Ha-ha-ha-ha!"

Mereka saling pandang dan melihat betapa pangeran itu bicara sewajarnya dan sejujurnya, sama sekali tidak ada tanda-tanda mengejek, Hong San Hwesio juga tertawa sehingga suasana pertemuan itu menjadi semakin gembira.

"Mari, duduklah, Lie-toako... eh, apakah aku harus menyebut suhu? Bagaimana ini?" tanya Han Houw bingung.

"Biar dia menjadi hwesio seratus kalipun, dia tetap kakakku Lie Seng. Di dunia ini aku hanya mempunyai seorang kakak, apakah itu pun akan diambil dariku? Tidak, engkau panggil saja dia Toako."

"Bolehkah itu, Lie-toako?" tanya Han Houw.

Hong San Hwesio tersenyum.
"Apakah artinya nama? Pinceng boleh disebut apapun, dan karena engkau adalah Moihu-ku (adik iparku) maka tentu saja engkau boleh menyebut pinceng Toako."

Tentu saja Ciauw Si melarang kakaknya makan makanan dari mangkok tadi dan sebagai gantinya dia lalu mengeluarkan masakan-masakan tanpa daging, kemudian mereka makan bersama sambil bercakap-cakap dengan penuh kegembiraan. Thian Sin kelihatan amat sayang kepada Pekhu-nya, demikian pula Lie Seng juga sayang sekali kepada Thian Sin yang dipujinya sebagai seorang anak yang bertulang baik sekali.

Sehabis makan, mereka duduk di ruangan depan.
"Koko, engkau harus bermalam disini, tinggal disini barang seminggu!" kata Ciauw Si dengan suara menuntut.

"Ya, tinggallah disini, Toako, dan anggap saja seperti di rumah sendiri." kata Han Houw.

"Terima kasih, aku akan tinggal disini barang beberapa hari sebelum melanjutkan perjalananku. Kalian tentu tahu bahwa seorang hwesio memiliki tugas untuk menyebarkan pelajaran agama dan memberi penerangan kepada yang sedang kegelapan. Selain itu, Kuil Thian-to-tang masih membutuhkan bimbinganku." Hong San Hwesio menolak halus.

Akhirnya Ciauw Si terpaksa mengalah dan tidak dapat memaksa kakaknya untuk tinggal terlalu lama di situ dan mereka berjanji bahwa kakak itu akan tinggal selama tiga hari di rumah adik kandungnya.

"Seng-koko, engkau belum menceritakan tadi tentang bagaimana matinya Sun Eng," tiba-tiba Ciauw Si bertanya.






"Sun Eng siapa...?"

Ceng Han Houw bertanya, suaranya lirih dan dia menahan perasaan kagetnya, lalu memandang kepada Hong San Hwesio.

Hwesio ini menarik napas panjang, kemudian balas memandang kepada wajah pangeran itu, akan tetapi pandang matanya tetap lembut dan tenang.

"Si-moi, dia sudah mati, sudah terbebas daripada kekejaman dunia, kiranya tidak perlu dibicarakan lagi. Dia tewas dalam usahanya yang amat baik, dan pinceng sudah lupa lagi bagaimana dia mati."

Jantung dalam dada Han Houw berdebar keras sekali. Dia yakin bahwa kakak kandung isterinya ini tahu apa yang telah terjadi dengan diri Sun Eng, siapa pula yang menyebabkan kematian wanita itu, akan tetapi pendekar yang telah menjadi hwesio ini benar-benar tidak menaruh dendam, bahkan tidak nampak sedikit pun rasa penasaran dalam pandang matanya!

"Sun Eng itu... masih apakah dengan Lie-toako?" Dia memberanikan diri bertanya kepada isterinya.

Dengan suara terharu Ciauw Si berkata.
"Dia adalah isterinya yang amat dicintai Seng-koko dan amat mencintanya, keduanya saling mencinta bahkan Seng-ko tidak mempedulikan larangan semua keluarganya. Seperti keadaan kita..."

Wajah pangeran itu menjadi agak pucat ketika dia memandang kepada Lie Seng atau Hong San Hwesio. Isterinya malah! Cepat dia bangkil berdiri dan menjura dengan penuh keharuan dan penuh penyesalan, namun dengan sikap yang jujur dan suara gemetar,

"Lie-toako, aku... aku ikut menyesal sekali atas malapetaka yang menimpa dirimu..."

Lie Seng atau Hong San Hwesio itu bangkit berdiri, tersenyum dan merangkap kedua tangan depan dada.

"Omitohud, kehendak Tuhan tak mungkin dapat dielakkan. Yang sudah lewat tidak baik untuk dibicarakan. Batin harus kosong dari segala kenangan karena kenangan hanya mendatangkan kekeruhan. Semoga Thian memberkahi kita semua!"

Pelarian dari duka merupakan hal sia-sia belaka. Hiburan-hiburan untuk menutupi duka juga merupakan pelarian. Dengan demikian, mungkin duka akan tidak terasa, akan tetapi hal itu hanya berlangsung sejenak saja, seperti api dalam sekam. Api duka itu masih belum padam, hanya tertutup dan masih membara di sebelah dalam Sewaktu-waktu akan berkobar lagi.

Kalau hiburan itu sudah mereda, maka duka akan muncul lagi sehingga kita terpaksa sibuk mencari-cari hiburan yang lain lagi. Mengapa kita harus lari dari kenyataan? Kalau timbul duka atau takut atau kesengsaraan yang lain lagi, mari kita hadapi dengan penuh kewaspadaan! Mengamati diri sendiri lahir batin setiap saat dengan penuh kewaspadaan berarti mempelajari segala sesuatu tentang kehidupan manusia
di dunia ini!

Hong San Hwesio tinggal selama tiga hari di rumah adik kandungnya dan kehadirannya selama tiga hari itu amat membahagiakan hati keluarga itu. Dia memberi tahu pula dimana dia menjadi hwesio kepala dari sebuah kuil dekat kota raja.

Setelah lewat tiga hari dia pun berpamit untuk melanjutkan perjalanan dan dia meninggalkan dusun itu diantar oleh Han Houw, Ciauw Si dan Thian Sin sampai ke pinggir dusun.

Dua tahun telah lewat lagi dan kini Thian Sin telah berusia sepuluh tahun. Semakin besar, anak ini menjadi semakin mengerti keadaan dan sering kali dia bertanya kepada ayah dan ibunya mengapa dia tidak diajak menghadap nenek-neneknya.

"Kata ibu, nenek masih hidup, baik ibu dari ibu maupun ibu dari ayah. Kenapa aku tidak boleh bertemu dengan nenekku? Kenapa pula aku tidak boleh bertemu dengan keluarga ayah dan ibu?"

Mendengar puteranya merengek itu, Ceng Han Houw tak dapat menahan lagi hatinya. Selama ini, dia sudah menahan-nahan keinginannya untuk pergi mengunjungi ibu kandungnya. Dia merasa rindu sekali kepada ibunya itu dan ingin melihat bagaimana keadaan ibunya. Maka dia lalu mengajak isterinya untuk pergi berkunjung kepada Ratu
Khamila, ibu kandungnya.

"Akan tetapi, bukankah kita sudah mengambil keputusan untuk tidak berhubungan lagi dengan keluarga kita dan hidup menyendiri di sini?"

Han Houw menarik napas panjang,
"Memang benar, isteriku, dan betapapun rinduku kepada ibuku, aku kiranya masih akan dapat bertahan. Akan tetapi kita harus kasihan kepada anak kita. Dan betapa akan senangnya dia bertemu dengan ibuku, juga betapa akan bahagianya hati ibu kalau melihat cucunya."

Ciauw Si mengerutkan alisnya.
"Tapi... tapi... mendiang Yok-sian..."

"Ah, isteriku, aku percaya akan ramalan itu kalau kita pergi ke kota raja, dimana banyak orang memusuhiku. Akan tetapi kalau mengunjungi ibu kandungku di utara, apakah bahayanya? Pula, ibuku sangat sayang kepadaku, dan mempunyai kekuasaan besar di sana, bahkan Raja Sabutai sendiri tidak berani bertindak sembarangan, maka siapakah yang akan berani mengganggu kita?"

Biarpun merasa ragu, namun melihat suaminya kelihatan begitu rindu kepada ibu kandungnya, dan melihat pula Thian Sin yang sudah mendengar akan maksud kepergian itu menjadi sangat gembira, akhirnya Ciauw Si mengalah dan menyetujui.

Bukan main gembiranya Han Houw memperoleh persetujuan isterinya. Dia seolah-olah menjadi seperti kanak-kanak yang dijanjikan hadiah besar, demikian girangnya sehingga berhari-hari dalam persiapan itu dia nampak luar biasa gembiranya. Demikian pun Thian Sin yang terbawa oleh kegembiraan ayahnya, kelihatan penuh semangat.

Melihat keadaan suami dan puteranya ini, tentu saja Ciauw Si menjadi semakin tidak tega dan demikianlah, pada suatu hari mereka bertiga berangkat menuju ke utara! Mereka tidak mau mengambil jalan melalui Lembah Naga, pertama karena hal itu akan makan waktu lebih lama dan jaraknya menjadi lebih jauh, juga terutama sekali karena suami isteri itu tidak mau mendekati lagi Lembah Naga, tempat yang hanya akan menimbulkan kenangan pahit saja bagi mereka. Mereka langsung menuju ke kerajaan kecil yang dikuasai ayah tirinya, yang sering berpindah tempat dan kini berada di sebelah timur Huhehot.

Setelah melakukan perjalanan yang cukup jauh dan amat menarik bagi Thian Sin, tanpa ada halangan sesuatu berkat kepandaian suami isteri itu, biarpun Han Houw kini tidaklah sehebat dulu, mereka tibalah di kerajaan kecil itu yang lebih tepat merupakan sekelompok besar suku-suku campuran di utara yang dulu dipimpin oleh Raja Sabutai
yang terkenal perkasa.

Mereka disambut oleh Permaisuri Khamila dengan banjir air mata, dan Pangeran Oguthai atau Ceng Han Houw bersama isteri dan puteranya segera diajak masuk ke dalam istana kecil Sang Permaisuri.

Di situ Han Houw mendengar bahwa Raja Sabutai telah meninggal dunia dan sebagai penggantinya kini diangkat seorang adik misannya Raja Sabutai yang bernama Agahai, terhitung paman dari Han Houw yang sejak mudanya telah menjadi pembantu Raja Sabutai yang paling setia.

Puteri Khamila merangkul puteranya sambil menangis dan dalam tangisnya ini samar-samar dia menyesalkan kepergian puteranya karena kalau tidak, tentu puteranya ini yang kini menggantikan Raja Sabutai, bukan Agahai!

Puteri Khamila yang cantik dan agung itu kini ternyata amat lemah dan sering sakit, terutama sekali karena memikirkan puteranya yang tadinya disangka telah tewas karena gagal dalam pemberontakannya.

Raja Agahai yang maklum akan kelihaian Han Houw menerimanya dengan ramah, bahkan dengan sikap manis menawarkan kedudukan tinggi kepada Han Houw kalau saja dia mau tinggal di situ dan membantu raja.

"Kami membutuhkan bantuanmu, Pangeran," antara lain raja ini berkata, "karena kita harus dapat menundukkan kembali suku-suku dan kelompok-kelompok kecil di utara sebelum mereka itu dikuasai oleh suku Mongol. Kita harus menjadi bangsa yang besar dan mengembalikan kejayaan mendiang ayahmu."

Akan tetapi Han Houw menghaturkan terima kasih dan tidak menerima penawaran ini, karena dia sudah berjanji kepada isterinya bahwa mereka datang itu hanya untuk menengok Puteri Khamila, dan sama sekali tidak akan mencampuri urusan kerajaan lagi.

Han Houw dan isterinya tinggal di tempat itu selama hampir sebulan. Kemudian mereka berpamit dan diantar oleh tangisan Puteri Khamila, mereka meninggalkan kerajaan kecil itu dengan membawa bekal yang diberikan oleh Raja Agahai, bahkan mereka diberi tiga ekor kuda yang amat baik untuk melakukan perjalanan pulang.

Perjalanan itu amat berkesan dalam hati Thian Sin dan diam-diam dia merasa bangga dapat melihat sendiri bahwa ayahnya adalah seorang pangeran, bahwa dia adalah keturunan darah bangsawan, tidak seperti anak-anak dalam dusunnya. Akan tetapi, terpengaruh oleh pendidikan ayah bundanya, kebanggaan ini hanya disimpannya di dalam hati saja sehingga pada lahirnya, anak ini tidak menyombongkan keadaan keturunannya.

Ciauw Si merasa girang sekali melihat bahwa suaminya sudah benar-benar insyaf dan sudah benar-benar tidak mempunyai ambisi lagi seperti dulu. Hal ini dapat dibuktikannya dengan sikap suaminya ketika diminta oleh Raja Agahai untuk tinggal di sana dan membantu raja itu. Akan tetapi, nyonya muda ini dan sekeluarganya sama sekali tidak tahu bahwa ada bahaya besar yang mengancam mereka dan sedang diatur oleh orang-orang yang tidak suka kepada mereka. Tanpa mereka sangka sama sekali, Raja Agahai merasa khawatir sekali melihat munculnya Han Houw.

Pendekar Sadis







Tidak ada komentar: