*

*

Ads

Rabu, 26 April 2017

Pendekar Sadis Jilid 003

Dengan tekun, sama tekunnya dengan isterinya yang merawatnya, Han Houw menuliskan kitab itu. Diapun, seperti isterinya, dapat mulai merasakan ketenteraman hidup, ketenangan batin tinggal di tempat sunyi ini, penuh dengan kesegaran hawa gunung dan sinar matahari.

Yok-sian kadang-kadang datang berkunjung, atau kadang-kadang Ciauw Si yang datang berkunjung ke puncak dan ke pondok kakek itu untuk minta nasihat tentang pengobatan suaminya. Mereka menjadi sahabat-sahabat baik dan Yok-sian diam-diam kagum akan pengetahuan bekas Pangeran itu yang cukup luas, karena memang Han Houw banyak mempelajari kitab-kitab sejarah dan kesusastraan.

Ketika Han Houw mendengar bahwa selain ilmu pengobatan, kakek ini juga memiliki keahlian untuk meramal, dia tertawa.

"Ah, kalau begitu, tolonglah engkau lihatkan garis nasibku, Locianpwe," katanya sambil bangkit duduk dan menyeret kedua kakinya yang masih setengah lumpuh itu agar dia dapat duduk di pembaringan.

Yok-sian tertawa juga melihat kegembiraan wajah tampan dari Pangeran muda itu.
"Aihh, ilmu meramal hanyalah ilmu iseng-iseng saja, Pangeran. Perlu apa mengetahui keadaan yang belum tiba?"

"Aku pun hanya iseng-iseng mau tahu saja Locianpwe. Habis, untuk apa Locianpwe mempelajari ilmu meramal kalau tidak mau melihat garis nasib orang?" kata Han Houw sambil menyodorkan tangan kirinya.

Pada saat itu, Ciauw Si masuk dan dia pun ikut gembira, ikut mendesak kakek itu untuk iseng-iseng melihat garis tangan suaminya dan dia pun duduk di samping Han Houw dengan sikap gembira.

Karena didesak, akhirnya Yok-sian memeriksa garis-garis tangan Pangeran itu dan tak lama kemudian dia pun mengerutkan sepasang alisnya yang sudah putih dan wajahnya nampak serius ketika dia berkata,

"Pangeran, dari garis tangan ini saya dapat mengetahui jelas bahwa Pangeran akan sembuh dan selamat dari bahaya maut ini."

Suami isteri itu saling pandang dengan gembira dan Han Houw mencela dengan gaya berkelakar,

"Ah, tanpa melihat garis tangan sekalipun Locianpwe tentu tahu bahwa aku sudah terbebas dari bahaya. Bukankah Locianpwe yang telah mengobati dan menyelamatkan diriku?"

"Ah, jangan mencela dan memandang rendah!" Ciauw Si menegur suaminya. "Locianpwe, harap teruskan membaca garis nasibnya."

Kakek itu terus menyusuri garis-garis telapak tangan Han How, kemudian, tanpa mempedulikan teguran Pangeran itu tadi, dia berkata lagi,

"Pangeran akan mempunyai keturunan, seorang putera..."

Han Houw menoleh kepada isterinya dan mereka saling pandang dengan penuh arti. Sejak Han Houw terluka, kedua kakinya dan tubuh bawahnya seperti dalam keadaan lumpuh sehingga dia tidak mampu melaksanakan tugasnya sebagai seorang suami. Bagaimana mungkin dia akan dapat mempunyai seorang putera?






"Tapi... tapi..." katanya ragu.

"Ini hanya ramalan iseng saja, Pangeran, tidak perlu terlalu dipercaya. Akan tetapi menurut garis nasib, jelas bahwa Pangeran akan mempunyai seorang putera. Akan tetapi yang terlebih penting lagi..."

Kakek itu mengerutkan alisnya dan meneliti garis-garis tangan itu, kelihatan serius sekali sehingga Han Houw dan Ciauw Si ikut pula merasa tegang.

"Ada apakah, Locianpwe?" tanya Ciauw Si khawatir.

"Inilah kebaikannya ilmu meramal," akhirnya kakek itu berkata, "manusia dapat berhati-hati menghadapi bintang gelap. Saya melihat bintang gelap sekali dalam perjalanan hidup Pangeran, dan bahaya besar mengancam kalau Pangeran mendekati keluarga. Oleh karena itu, saya hanya dapat menganjurkan agar Pangeran dan isteri mengasingkan diri dan hidup tenteram disini, jangan sekali-kali mendekati keluarga."

"Yang Locianpwe maksudkan, keluarga... yang mana?"

Ciauw Si bertanya khawatir sedangkan Han Houw hanya tersenyum saja karena dia tidak percaya akan semua ini.

"Tidak dijelaskan dalam garis-garis itu, hanya ada tanda bahwa bahaya itu datang melalui keluarga. Maka sebaiknya kalau ji-wi (kalian) tinggal tenteram saja di tempat ini dan lupakan semua masa lalu dan hubungan keluarga."

Ramalan yang dilakukan secara iseng-iseng itu mendatangkan kesan mendalam dalam hati Clauw Si. Akan tetapi Han Houw tidak mempedulikannya, sungguhpun untuk waktu itu dia sama sekali tidak berkeinginan untuk berhubungan dengan keluarganya. Keluarga mana yang akan dihubunginya? Ayah kandungnya telah tiada, dan saudara-saudaranya, kaisar dan para pangeran di Kerajaan Beng tentu semua benci dan menganggapnya sebagai musuh dan pemberontak.

Sedangkan ayah tirinya, Raja Sabutai, tentu juga marah kepadanya karena kegagalannya. Di samping itu, dia merasa malu untuk berjumpa dengan siapapun juga dalam keadaan setengah lumpuh dan tidak berdaya ini.

Demikianlah, dengan penuh cinta dan kesetiaan, Ciauw Si pendekar wanita yang gagah perkasa dan cantik manis itu merawat suaminya. Perlahan-lahan, sedikit demi sedikit, kesehatan Han Houw makin membaik dan kedua kakinyapun mulai dapat digerakkan!

Agaknya ramalan Yok-sian itu mendekati kebenaran karena Han Houw yang tadinya mengira akan lumpuh selamanya itu kini mulai dapat berjalan dan setelah dirawat selama dua tahun, benar saja, dia telah sembuh sama sekali! Dia telah sehat lagi, tidak lumpuh, dan dia dapat melakukan tugas sebagai suami normal, dan dapat berjalan, bahkan berlari dan bergerak cepat, sungguhpun tenaga sin-kangnya telah banyak hilang sehingga biarpun dia dapat mainkan kembali semua ilmu silatnya, namun tidak dapat sepenuh tenaga dan tentu saja dia telah kehilangan kelihaiannya.

Bahkan dengan sisa tenaga sin-kang yang tidak berapa kuat itu, dia tidak lagi mampu memainkan ilmu-ilmu silatnya yang dipelajarinya dahulu dari kitab-kitab Bu Beng Hud-couw. Tentu saja Pangeran ini menjadi kecewa dan berduka, akan tetapi isterinya yang mencintanya itu menghiburnya dan mereka berdua hidup rukun dan saling mencinta di tempat yang sunyi itu.

Beberapa bulan kemudian, suami isteri itu merasa amat gembira dan berbahagia dengan kenyataan bahwa Ciauw Si mulai mengandung! Dan sembilan bulan kemudian terbuktilah ramalan Yok-sian dengan lahirnya seorang anak laki-laki yang sehat dan mungil!

Akan tetapi, kegembiraan bagi suami isteri itu disuramkan dengan peristiwa
kematian Yok-sian! Kakek yang usianya tentu sudah lebih dari seratus tahun itu meninggal dunia dalam keadaan tenang dan karena kakek itu tidak berkeluarga, maka Han Houw dan Ciauw Si yang mengganggap kakek itu sebagai penolong mereka, lalu merawat dan mengurus jenazahnya, dibantu oleh para penghuni dusun mereka.

Anak laki-laki itu mereka beri nama Ceng Thian Sin. Tentu saja suami isteri itu merasa amat berbahagia dan mereka merawat Thian Sin penuh kasih sayang. Sejak kecil sekali Thian Sin telah menunjukkan bahwa dia amat cerdik disamping memiliki wajah yang sangat tampan sekali.

Dengan adanya Thian Sin, suami isteri itu merasa terhibur dan agaknya mereka sudah tidak membutuhkan apa-apa lagi, sudah cukup berbahagia hidup bertiga di dusun itu, mempunyai para tetangga orang-orang dusun yang amat jujur dan bersahaja hidupnya, hidup sehat dekat dengan alam, jauh dari keributan karena ulah manusia kota yang selalu bersaing untuk mengejar kesenangan, memperebutkan uang, kedudukan dan nama serta menjadi hamba yang membuta dari nafsu-nafsu mereka.

Bertahun-tahun lewat dengan cepatnya tanpa terasa dan tahu-tahu delapan tahun telah lewat sejak Thian Sin terlahir ke dalam dunia. Setelah berusia delapan tahun, makin nampak betapa anak ini memiliki wajah yang amat tampan, wajah yang sedemikian eloknya sehingga nampak manis seperti wajah seorang anak perempuan!

Akan tetapi wataknya cukup jantan karena anak ini selain cerdik, juga memiliki pribadi yang kuat dan tabah dan semenjak kecil tentu saja dia telah digembleng oleh ayahnya sendiri. Biarpun dia sendiri sudah kehilangan sin-kangnya, namun tentu saja Han Houw tahu bagaimana caranya mendidik dan melatih ilmu-ilmu silat kepada puteranya yang amat disayangnya.

Dasar-dasar ilmu silat tinggi telah diajarkan kepada anak itu semenjak anak itu berusia lima tahun. Bukan hanya ilmu silat bahkan anak itu pun sejak kecil telah diajarkan ilmu tulis dan baca karena ayah bundanya menghendaki agar putera mereka kelak bukan hanya menjadi seorang ahli silat, akan tetapi juga seorang ahli dalam kesusastraan, patut menjadi keturunan keluarga Kaisar dan keturunan keluarga Cin-ling-pai!

Han Houw dan Ciauw Si juga tidak merahasiakan keturunan mereka dan anak itu telah mendengar penuturan orang tuanya bahwa ayahnya sebetulnya adalah Pangeran Oguthai atau Pangeran Ceng Han Houw, seorang pangeran kerajaan besar dari Kaisar Beng-tiauw, sedangkan ibu kandung ayahnya adalah Permaisuri Khamila di utara. Dan ibunya adalah cucu dari ketua Cin-ling-pai, sebuah perkumpulan silat yang amat terkenal di seluruh dunia persilatan.

Penuturan ini tentu saja menanamkan sesuatu dalam batin Thian Sin, dan semenjak mendengar tentang keturunan ini, dia merasa bahwa dirinya jauh lebih tinggi dalam hal keturunan dan derajat daripada semua anak di dalam dusun itu. Dia tidak menjadi tinggi hati atau sombong karenanya, hanya dia merasa seperti menyimpan suatu rahasia yang membuatnya merasa amat bangga!

Dari ibunya, Thian Sin memperoleh pelajaran tentang sikap seorang pendekar besar yang selalu harus membela kebenaran dan keadilan, harus melindungi yang lemah tertindas dan harus menentang setiap kejahatan dan orang-orang kuat yang bertindak sewenang-wenang, harus pula selalu merendahkan hati dan menjauhi sikap sombong.

Pada suatu hari, selagi Thian Sin berada di depan rumahnya, seorang hwesio memasuki halaman rumah itu. Seorang hwesio yang berpakaian sederhana berwarna kuning, memegang tongkat dan sebuah mangkok butut. Hwesio itu masih belum tua benar, belum ada empat puluh tahun usianya, berwajah tegap dan nampak kuat, wajahnya tampan dan bundar, sepasang matanya mengeluarkan sinar ketulusan dan kejujuran, mulutnya tersenyum wajar tidak dibuat-buat.

Melihat hwesio itu memasuki halaman dengan langkah lambat tanpa ragu-ragu, Thian Sin bangkit dan memandang tajam. Dia adalah seorang anak yang sejak lahir berada di dalam dusun, namun pengetahuannya telah cukup banyak berkat bimbingan ayah bundanya sehingga melihat hwesio ini, tahulah dia apa yang dikehendaki oleh pendeta itu. Apalagi, di dusun itu sudah beberapa kali lewat hwesio-hwesio berkelana yang singgah di dusun untuk minta diberi makanan sekedarnya untuk penyambung hidup.

"Losuhu, apakah Losuhu seorang hwesio yang sedang melakukan perjalanan berkelana dan kebetulan lewat di tempat ini?" tanyanya tanpa ragu, suaranya bening dan pandang matanya tajam.

Hwesio itu tertarik sekali. Dia tahu bahwa dia berhadapan dengan seorang anak laki-laki yang cerdik luar biasa, maka dia tersenyum ramah dan memandang penuh kagum.

"Benar, dugaanmu, sahabat kecil."

"Dan apakah Losuhu singgah di sini untuk minta bantuan makanan?" Dia memandang ke arah mangkok kosong di tangan kanan hwesio itu.

"Sekali lagi dugaanmu tepat, sahabat kecil. Pinceng kebetulan lewat dan melihat bahwa rumah ini adalah rumah paling besar di antara rumah-rumah di dusun ini, maka pinceng singgah dengan harapan untuk mendapatkan sekedar makanan kalau ada makanan lebih di dalam rumah ini."

"Tentu saja, Losuhu. Silakan duduk dulu di ruangan depan, aku akan memberi tahu kepada ibu untuk menyediakan makanan."

"Omitohud... sahabat kecil sungguh berhati murah! Harap jangan repot-repot, kalau engkau suka mengisi mangkokku ini dengan makanan, sudah cukuplah itu bagi pinceng," Dia lalu menyerahkan mangkok putih itu kepada Thian Sin.

Anak itu menerima mangkok dan dia melihat bahwa di topi mangkok itu ada tulisan cat hitam yang berbunyi LIE. Sejenak dia tertegun, lalu dia berlari masuk membawa mangkok butut itu kepada ibunya yang sedang sibuk di dapur.

"Anak baik... Anak baik..."

Hwesio itu mengangguk-angguk dengan kagum dan juga heran bagaimana di dalam sebuah dusun sederhana seperti itu dia dapat bertemu dengan seorang anak laki-laki yang demikian cerdik dan pandai membawa diri seperti seorang anak terpelajar saja. Diam-diam timbul rasa sukanya kepada anak itu.

Sementara itu, Thian Sin berlari-lari ke dalam dan ketika bertemu dengan ibunya di dalam dapur, dia cepat berkata,

"Ibu...! Ibu...! Di luar ada seorang hwesio minta sedekah makanan!"

Pendekar Sadis







Tidak ada komentar: