*

*

Ads

Rabu, 26 April 2017

Pendekar Sadis Jilid 002

Diam-diam hatinya khawatir. Kakek ini lebih suka menolong dan berhubungan dengan penduduk dusun yang sederhana daripada berhubungan dengan orang-orang kang-ouw yang memiliki kebiasaan untuk saling pukul, saling melukai dan saling membunuh itu, kebiasaan yang membuat dia merasa jijik sekali.

Sementara itu, Ciauw Si maklum bahwa anjuran kakek itu adalah demi kebaikannya. Dia harus sehat agar dia dapat merawat suaminya setelah kini timbul harapan di dalam hatinya. Setelah tiba di sini, melihat Han Houw, dia hampir putus harapan. Apa artinya hidup ini baginya tanpa adanya Han Houw di sampingnya? Dia sudah terbuang dari keluarganya, sudah dianggap kambing hitam atau anak durhaka!

Terbayanglah dia betapa keluarga Cin-ling-pai, keluarganya, membantu fihak pemerintah menentang Han Houw, bahkan ibu kandungnya sendiripun menentang. Dia maklum bahwa tidak ada seorang pun di antara keluarga Cin-ling-pai yang suka melihat dia menjadi isteri Han Houw! Dan setelah dia merasa dibuang atau diasingkan dari keluarga Cin-ling-pai, maka hanya Han Houw seoranglah yang dia miliki. Dan dia amat mencinta Pangeran itu, lepas dari soal apakah suaminya itu memberontak atau tidak, jahat atau tidak.

Harapan untuk suaminya ini mengembalikan semangat Ciauw Si dan mulailah dia makan bubur dengan sekedar sayur asin yang didapatkannya di tempat itu. Kelemasan tubuhnya segera berangsur lenyap, tenaganya pulih kembali setelah dia makan bubur dan minum air teh. Kemudian dia mencuci mangkok piring dan membersihkan meja dan ruangan pondok itu. Dilihatnya suaminya masih tidur nyenyak, agaknya karena pengaruh obat yang telah diminumkan oleh kakek tadi, maka hatinya terasa lapang dan dia menanti kembalinya kakek ahli obat itu.

Setelah matahari naik tinggi barulah Yok-sian pulang, membawa banyak daun dan akar obat. Ciauw Si menyongsongnya dan membantunya membawa rempah-rempah itu masuk pondok.

"Engkau sudah makan?"

Ciauw Si mengangguk.
"Terima kasih Locianpwe."

Ketika Kakek itu memasuki pondok dan melihat pondoknya bersih dan rapi, dia tersenyum girang, lalu dia langsung memeriksa keadaan Han Houw,

"Kau taruh daun yang ini, akar yang ini dan buah-buahan ini ke atas tambir dan jemur di luar. Ini adalah obat-obat pembersih darah untuk suamimu. Sungguh beruntung baginya bahwa tidak ada hawa beracun mengeram dalam tubuhnya..."

"Saya... saya sudah mengeluarkannya dalam perjalanan, Locianpwe..."

Kakek itu memandangnya dengan heran.
"Apa maksudmu? Mengeluarkannya bagaimana?"

"Dengan pengerahan sin-kang, mendorong semua hawa beracun keluar tubuhnya..."

"Ah, engkau selihai itu? Hemm, kiranya kalian adalah suami isteri pendekar yang amat tinggi ilmunya. Akan tetapi dengar, mulai sekarang jangan lagi engkau mempergunakan kekuatan dalam untuk mencoba mengobatinya!"






"Mengapa, Locianpwe?"

Kakek itu menarik napas panjang.
"Terus terang saja, keadaannya amat parah, entah mengapa keadaannya sampai seperti itu. Menggunakan tenaga besar untuk memaksakan penyembuhan bahkan akan membahayakan, karena dia sudah kehilangan tenaga untuk menerima pengobatan seperti itu. Pengobatan harus dilakukan dengan wajar, sedikit demi
sedikit, mengandalkan kemanjuran obat dan perawatan alam yang sewajarnya. Entah berapa lama engkau harus merawatnya, dan dengan cara demikian barulah dapat diharapkan dia sembuh."

"Baik, baik... saya akan mentaati semua pesan Locianpwe," kata Ciauw Si dengan hati khawatir karena dia sendiri maklum bahwa suaminya mengalami luka hebat yang menurut dia sendiri tak mungkin dapat disembuhkan.

"Sekarang ceritakanlah, siapa kalian dan apa yang telah terjadi dengan suamimu sehingga keadaannya sampai sedemikian rupa?"

Sejenak Ciauw Si diam saja, berpikir. Akan tetapi dia lalu mengambil keputusan untuk menceritakan keadaan dirinya secara terus terang saja. Kakek ini adalah seorang luar biasa dan yang diharapkannya akan dapat menghidupkan kembali suaminya, maka sebagai seorang penolong besar tentu saja dia harus menaruh kepercayaan sepenuhnya kepada kakek ini.

"Locianpwe, saya adalah seorang anak yang durhaka, yang mendurhakai dan menyusahkan ibu kandung dan keluarga karena cinta kepada seorang pria. Saya... saya bernama Lie Ciauw Si dan ibu kandung saya adalah puteri dari mendiang ketua Cin-ling-pai..."

"Ahhh...! Kiranya begitu? Tak kusangka bahwa engkau adalah cucu pendekar sakti yang budiman itu. Pengakuanmu sebagai anak durhaka menandakan bahwa engkau tidaklah demikian, anak baik, lanjutkan ceritamu."

"Saya telah saling mencinta dengan suami saya ini dan... kami menikah di luar persetujuan keluarga saya. Suami saya seorang yang bercita-cita terlalu besar... akhirnya dia gagal dan dalam pertempuran, dia roboh oleh seorang sakti lain... juga cita-citanya gagal dan hancur. Saya tidak berduka tentang gagalnya cita-citanya itu, saya tidak peduli akan hal itu... dan terus terang saja, saya sendiri tidak setuju dengan semua yang telah dilakukannya, akan tetapi... Locianpwe, saya... saya cinta padanya..." Dan Ciauw Si menunduk, menahan airmatanya.

Dalam keadaan biasa, memang seolah-olah pantang bagi wanita perkasa ini untuk terlalu cengeng, terlalu mudah menjatuhkan air mata.

Sejenak sepasang mata kakek tua itu memandang penuh kagum kepada kepala yang menunduk itu, juga terkandung perasaan iba yang besar.

"Bahagialah dia yang telah mendapatkan cinta kasih seorang wanita sepertimu cinta yang tanpa kecuali. Nah, mulai sekarang, kau belajarlah bagaimana cara mengobatinya, obat-obat apa yang harus kau berikan setiap hari karena terus terang saja, engkau akan harus merawatnya sampai berbulan-bulan, bahkan mungkin bertahun-tahun baru dia akan dapat sembuh sama sekali. Engkau akan menghadapi masa yang amat sulit, anak yang baik, akan tetapi itu juga merupakan suatu ujian bagi kesetiaan dan cinta kasihmu."

Demikianlah, kakek itu lalu membuat ramu-ramuan obat-obatan dan dia mengajarkan kepada Ciauw Si tentang obat-obat itu, dimana mencarinya. Dan memang kepandaian kakek itu hebat sekali. Setelah menerima pengobatan selama kurang lebih sebulan, Han Houw memperoleh kembali kesadarannya dan bahaya yang mengancam nyawanya telah lewat, dia telah tertolong sungguhpun keadaan tubuhnya masih amat lemah sehingga dia belum mampu turun dari pembaringan.

Bekas Pangeran ini merasa amat terharu atas kecintaan isterinya. Dia sampai menangis mengguguk ketika mendengar akan penderitaan isterinya ketika menyelamatkannya dan diam-diam Pangeran ini mulai menyesali semua sepak terjangnya untuk mengejar ambisi dan cita-citanya. Baru sekarang, setelah dia gagal dan mengalami kesengsaraan sebagai akibat daripada pengejaran cita-citanya itu, nampak jelas olehnya betapa bodohnya dia, betapa gilanya dia, digilakan oleh berkilaunya semua cita-cita yang dijangkaunya.

Memang demikianlah, ambisi atau cita-cita selalu nampak indah cemerlang, jauh lebih indah daripada apa adanya saat kita mengejar cita-cita itu! Dan telah menjadi pendapat umum yang menyesatkan bahwa kita manusia hidup HARUS bercita-cita, karena kalau tidak ada cita-cita, kita akan mati, tidak berdaya cipta, dan tidak akan maju! Benarkah demikian?

Tidak sehat dan tidak cerdaslah namanya kalau kita hanya menerima pendapat begini atau begitu tanpa menyelidikinya dalam kehidupan kita sehari-hari. Sebaliknya kalau kita menyelidiki, apakah sesungguhnya ambisi atau cita-cita itu? Cita-cita adalah bayangan akan sesuatu yang belum ada, akan sesuatu yang kita anggap akan lebih baik, lebih menyenangkan daripada keadaan yang ada sekarang ini. Cita-cita adalah bayangan suatu keadaan yang lebih menyenangkan. Bukankah demikian?

Jadi, cita-cita adalah pengejaran, atau keinginan akan sesuatu yang dianggap akan lebih menyenangkan dari pada keadaan sekarang ini. Ada yang bercita-cita untuk menjadi kaya raya, atau setidaknya jauh lebih kaya daripada keadaannya sekarang, berarti dia ini mengejar-ngejar harta kekayaan yang dianggapnya akan mendatangkan kesenangan dalam hidupnya.

Ada pula yang bercita-cita untuk memperoleh kedudukan yang lebih tinggi daripada sekarang, tentu saja cita-cita itu muncul karena dianggap bahwa hal itu akan mendatangkan kesenangan dalam hidupnya. Pendapat umum mengatakan demikian, dan kita menerima saja sebagai sesuatu yang sudah pasti! Padahal, apakah kekayaan dan kedudukan itu pasti mendatangkan kesenangan? Memang, mendatangkan kesenangan, akan tetapi juga kesusahan sebagai tandingannya. Yang jelas, tidak akan mendatangkan kebahagiaan!

Dan seperti dapat dilihat dari bukti sehari-hari, yang dikejar-kejar yang masih merupakan ambisi atau cita-cita itu hanyalah merupakan kesenangan yang pada kenyataannya tidaklah seindah dan sekemilau seperti yang dikejarnya. Setelah yang dikejarnya itu terdapat, maka apa yang didapat itu hanya mendatangkan kesenangan
sepintas saja, lalu membosankan, karena mata kita sudah melihat lagi jauh ke depan, kepada yang kita anggap lebih menyenangkan lagi, yang merupakan penyakit yang takkan habis sebelum kita mati, yaitu penyakit mengejar sesuatu yang kita anggap lebih menyenangkan. Dan pengejaran atau penyakit ini membuat kita tidak pernah dapat
merasakan keindahan saat ini, tidak pernah dapat menikmati keadaan saat ini. Kita hanya menikmati bayangan-bayangan indah dari cita-cita atau ambisi itu saja.

Kemajuan yang dijadikan pendapat umum itu apakah sesungguhnya? Kalau kita mau meneliti diri sendiri, segala sesuatu telah kita dasarkan kepada kebendaan, kepada lahiriah belaka sehingga ukuran kata "kemajuan" bagi kita bukan lain adalah uang dan kedudukan!

Majukah seseorang kalau dia sudah memiliki kedudukan tinggi atau banyak
uang? Beginilah memang pendapat umum, pendapat kita! Bahagiakah seseorang kalau dia sudah berkedudukan tinggi atau memiliki banyak uang? Kalau kita menyelidiki mereka yang umum anggap berkedudukan tinggi atau berharta besar, maka jawabannya ternyata akan berbunyi : TIDAK!

Pengejaran kesenangan sudah pasti mendatangkan perbuatan-perbuatan yang kejam dan menyeleweng, karena demi pencapaian cita-cita itu kita tidak segan-segan untuk menyingkirkan siapa juga yang menjadi penghalang. Kita tidak segan-segan melakukan penyelewengan-penyelewengan, korupsi, kelicikan, jegal-menjegal, perebutan kursi,
apa saja tanpa ada yang diharamkan, demi mencapai cita-cita atau demi tercapainya yang kita anggap akan menyenangkan itu.

Dan apakah artinya semua "kemajuan" lahir tanpa disertai kebersihan batin, tanpa adanya cinta kasih antar manusia dalam batin kita? Dunia sekarang membuktikannya. Semua "kemajuan" yang serba hebat, tenaga-tenaga yang serba dahsyat, lebih banyak dipergunakan oleh manusia untuk saling menghancurkan, saling membunuh.

Mari kita sama-sama membuka mata melihat keadaan yang sebenarnya dari kehidupan kita di dunia. Lihatlah perang senjata-senjata yang serba dahsyat, serba maut! Lihatlah kepalsuan-kepalsuan dalam politik. Lihatlah kelicikan-kelicikan dalam perdagangan. Lihatlah perbedaan-perbedaan antara si kaya dan si miskin. Lihatlah negara ini berlimpah-ruah, negara itu kelaparan. Lihatlah, lihatlah keadaan dunia pada umumnya. Apakah kita boleh berbangga hati dan membusungkan dada mengatakan bahwa kita manusia ini telah "maju"? Betapa menyedihkan!

Setelah Ciauw Si mempelajari bagaimana dia harus mengobati suaminya, dia lalu mencari sebuah rumah di dalam sebuah dusun kecil di lereng bukit itu. Dengan sisa perhiasan yang menempel di tubuhnya, cukuplah baginya untuk membeli sebidang tanah dengan rumah yang sederhana, dan di situlah dia merawat suaminya sambil mempergunakan tenaga petani mengusahakan tanahnya, cukup untuk keperluan sehari-hari selama dia merawat suaminya dengan penuh ketekunan.

Ciauw Si amat mencinta suaminya. Dengan penuh cinta kasih dalam dada, biarpun dia hidup sederhana, berpakaian wanita petani, tinggal di rumah sederhana, namun wanita muda ini nampak segar dan kedua pipinya kemerahan seperti buah tomat yang ditanamnya, sepasang matanya selalu bening berseri, murah senyum. Di sini, dia tidak
pernah memikirkan tentang kekerasan, melainkan hidup penuh tenteram dan damai di antara penduduk dusun yang hanya memiliki sedikit kebutuhan hidup mereka secara wajar.

Han Houw semakin terharu oleh sikap isterinya. Dia maklum bahwa nyawanya tertolong, akan tetapi sebagai seorang ahli silat yang memiliki kepandaian tinggi, dia pun tahu bahwa ada beberapa bagian tubuhnya yang rusak sehingga dia tidak akan mampu lagi mengerahkan seluruh tenaga sin-kang seperti dahulu.

Kepandaian, yaitu ilmu silatnya, memang masih ada, akan tetapi apa artinya kalau sin-kangnya sudah lenyap dan tidak sedikit tenaga dalam yang tidak ada artinya itu? Maka, dalam keadaan masih setengah lumpuh, kedua kakinya masih belum kuat dipakai jalan,
dia mulai mencatatkan ilmu-ilmunya yang paling rahasia dan tinggi, yang didapatnya dari pelajaran kitab ciptaan Bu Beng Hud-couw.

Dia menuliskan ilmu-ilmu Hok-liong-sin-ciang dan Hok-te Sin-kun, juga ilmu menghimpun tenaga, dengan cara yang amat cerdik, dengan tulisan-tulisan rahasia dan kalau orang lain yang membaca kitab itu, maka dia takkan mungkin mengerti semua isinya dan kalau orang berani mempelajarinya tanpa tahu akan rahasianya, maka orang itu akan memperoleh pelajaran sesat yang berbahaya bagi dirinya sendiri!

Pendekar Sadis







Tidak ada komentar: